REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Bunyi sirine dan kabar gelombang yang kembali naik pada Ahad (23/12) siang membuat panik warga Pandeglang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun mengklarifikasi terkait bunyi sirine tersebut.
Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, bunyi sirine tersebut bukan merupakan peringatan dini tsunami susulan. Ia menyebut, kemungkinan bunyi sirine tersebut karena adanya kesalahan teknis.
"Tadi sudah koordinasi dengan BMKG dan BPBD Pandeglang bahwa tidak ada warning atau peringatan dini adanya tsunami susulan. Tidak ada tanda-tanda kejadian seperti itu, tiba-tiba sirinenya bunyi sendiri," kaat Sutopo di BPBD DIY, Ahad (23/12).
Menurut Sutopo, kesalahan teknis yang terjadi dimungkinkan akibat terjangan tsunami. Sirine tersebut merupakan milik BMKG yang berada di Teluk Labuhan, Pandeglang.
Karena bunyi sirine tersebut, masyarakat langsung berlarian menyelamatkan diri. "Masyarakat merespon langsung dan melakukan evakuasi. Sehingga terjadi kemacetan dan shelter tsunami juga penuh warga yang mengungsi," katanya.
Walaupun begitu, ia mengimbau kepada masyarakat agar menjauhi pantai. Terutama, daerah-daerah yang paling parah terdampak tsunami.
"Masyarakat kita imbau tetap waspada, tidak beraktivitas di pinggir pantai karena potensi tsunami susulan masih ada," tambahnya.
Data sementara yang berhasil dihimpun Posko BNPB hingga Ahad (23/12) pukul 16.00 WIB, tercatat 222 orang meninggal dunia, 843 orang luka-luka dan 28 orang hilang.
Korban dan kerusakan ini meliputi di empat kabupaten terdampak. Korban dan kerusakan terjadi di Kabupaten Pandeglang (Banten), Serang (Banten), Lampung Selatan (Lampung), dan Tanggamus (Lampung).
Di Kabupaten Pandeglang, ia menyebutkan, tercatat 164 orang meninggal dunia, 624 orang luka-luka, 2 orang hilang. Kerusakan fisik meliputi 446 rumah rusak, sembilan hotel rusak, 60 warung rusak, 350 unit kapal dan perahu rusak, dan 73 kendaraan rusak.