REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan, tsunami yang terjadi di Anyer atau Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam disebabkan aktivitas vulkanis Gunung Anak Krakatau. Sistem peringatan dini tsunami milik BMKG hanya memantau kegempaan tektonik.
"Kenapa tak ada early warning (peringatan dini), karena tak ada diakibatkan aktivitas tektonik. Ini akibat gempa vulkanis," kata Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono dalam konferensi pers di Kantor BMKG, Jakarta Pusat, Ahad (23/12).
Dia memastikan gelombang yang masuk ke daratan pukul 21.27 WIB disebabkan tsunami yang terjadi di Selat Sunda. Dia tidak menampik, BMKG sempat memiliki keraguan ihwal apakah tsunami tersebut disebabkan gempa tektonik. Sebab, memang tidak ada aktivitas gempa di perairan Selat Sunda.
Berdasarkan papan pengukuran (tidegauge) puku 21.58 WIB dilaporkan gelombang tersebut adalah tsunami. Sebalumnya, pukul 21.03 WIB tercatat ada erupsi di Gunung Anak Krakatau. Koordinasi dengan Geologi ESDM menyepakati tsunami di Selat Sunda akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau.
BMKG sudah memberikan peringatan dini gelombang tinggi terjadi pada 21-25 Desember 2018. Dia mengatakan, bisa saja gelombang tinggi itu memicu tsunami.
Berdasarkan catatan papan pengukuran, tsunami tertinggi terjadi dengan ketinggian 0,9 meter. Apabila ditambah dengan gelombang tinggi dua meter, maka tsunamk mencapai hampir tiga meter.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, mencatat sebanyak tiga orang meninggal akibat terjangan gelombang tinggi di Kabupaten Pandeglang dan Lampung Selatan. Selain itu, sebanyak 21 orang dilaporkan terluka di daerah tersebut.
"Data sementara dampak gelombang pasang yang didapat BPBD pada 23 Desember pukul 00.30 WIB, terdapat tiga orang meninggal dunia dan 21 orang luka-luka di Kabupaten Pandeglang dan Lampung Selatan," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan tertulisnya, Ahad (23/12).