REPUBLIKA.CO.ID ACEH -- Tokoh lintas agama di Aceh menolak laporan yang menyebut Aceh memiliki indeks kerukunan rendah di Indonesia.
Penolakan itu disampaikan dalam Rapat Evaluasi Tahunan Kegiatan Kerukunan Umat Beragama Antar Instansi se-Provinsi Aceh dengan tema “Tebarkan Kedamaian dalam Keragaman” yang digelar Kanwil Kemenag Aceh di Hotel Grand Arabia, Rabu (19/12).
Kakanwil Kemenag Aceh, Drs H M Daud Pakeh, mengatakan, kehidupan umat beragama di Aceh dari masa ke masa berlangsung cukup harmonis, stabil, dan tidak ada gesekan
“Peunayong di Banda Aceh adalah miniatur kerukunan umat beragama di Aceh. Kalau mau meneliti kehidupan kerukunan beragama di Aceh peneliti harus mengamatinya di Peunayong,” ujar Daud dalam siaran pers yang disebarkan FKUB Aceh, Rabu (19/12).
Namun, menurut Daud, untuk meningkatan kerukunan, tokoh-tokoh lintas agama perlu bertemu secara rutin dan dilaksanakan di berbagai tempat di Aceh. Dia pun mengusulkan agar anak muda juga dilibatkan untuk membahas tentang kerukunan beragama.
“FKUB perlu mengagendakan pertemuan umat lintas agama secara bergilir sambil ngopi. Bila perlu kita galang ‘kopi kerukunan’ di warkop-warkop dengan mengajak anak-anak muda membahas kerukunan beragama. Nanti yang bayar harga ngopi sewarung,” ucap Daud.
Sementara itu, Tokoh Katolik, Baron F Pandiangan, mengaku heran atas klaim peneliti dari luar yang menyimpulkan Aceh dengan tingkat toleransi rendah. “Kami merasa harmonis dan nyaman tinggal di Aceh. Aceh sangat tepat untuk kami untuk memurnikan amalan Katolik,” kata Barin.
Hal senada juga diutarakan tokoh Kristen Protestan di Aceh, Samarel. Dia mengaku terkejut dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa indeks kerukunan Aceh rendah.
“Saya terkejut mendengar hasil penelitian yang melaporkan Aceh dengan tingkat toleransi rendah. Kami umat Kristen di Aceh aman-aman saja. Yang membuat panas justru orang luar, kita tak tahu apa kepentingan mereka,” ujar Samarel.
Tokoh Hindu di Aceh, Syahnan Ginting dan tokoh Buddha Aceh, Yuswar juga mengungkapkan bahwa kerukunan umat beragama di Aceh baik-baik saja. Bahkan, keduanya mengaku sangat aman, rukun, dan terlindungi tinggal di Aceh, baik dalam aktivitas sosial dan beribadah.
“Di Aceh ini tidak ada beda perlakuan. Saya bahkan diundang ke acara maulid rasul, antar linto (pesta perkawinan, red), sunnah rasul, dan lain-lain. Tidak ada persoalan apa pun. Kan aneh, mereka yang dari luar justru yang menilai bermasalah,” kata Aswar.
Sebelumnya, Pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama melakukan survei Kerukunan Umat Agama (KUB) di seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Dalam survei ini, Aceh mendapatkan skor indeks kerukunan 64.1 atau terendah nomor dua setelah Sumatera Barat dengan skor 62,5.
Ketua tim peneliti dalam survei KUB 2018, Raudatul Ulum mengatakan, sebenarnya skor Aceh tersebut masih dalam kategori toleran karena berada di atas 60. Hanya saja, menurut dia, indeks kerukunannya memang masih kalah dengan daerah lainnya.
Menurut dia, dalam survei KUB versi kemenag juga tidak menggunakan indikator negatif dan kategori pun menggunakan kerukunan rendah tinggi. Berdasarkan hasil survei, kategori terindah pun masih masuk kategori rukun.
"Itu kan toleran masih. Tidak ada istilah intoleran. Pertama itu indikatornya positif semua, jadi tidak ada indikator negatif," jelas Ulum saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (19/12).
Menurut dia, angka dalam penelitian tersebut tidak dapat diubah karena memang bukan angka yang dikarang sendiri. Hasil penelitian itu didapatkan dari 400 responden yang diwawancara di seluruh Aceh. "Itu kan bukan kita mengarang-ngarang. itu kan hasil survei. Kalau mau dituntut justru mereka yang mengisi, responden," ucapnya.
Selain itu, tambah dia, jika pun ada yang menolak hasil penelitian tersebut maka harus jelas dulu apa yang ditolak, apakah instrumen dan konsepnya, metode penelitiannya, atau hasil penelitiannya. "Ada instrumen dan konsep, ada metodologi, atau hasilnya? Kalai metodooginya kita siap diuji. Kalau hasilnya terus terang itu tidak dapat diubah," kata Ulum.