Selasa 18 Dec 2018 00:13 WIB

Menimbang Indonesia Bela Muslim Uighur

Peneliti dari ANU menyebut yang terjadi di Xinjiang merupakan pembersihan etnis.

Muslim Uighur
Foto: ABC News
Muslim Uighur

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nuraini*

Pemerintah Indonesia didesak untuk mengambil langkah membela Muslim Uighur yang menghadapi sikap keras dari pemerintah Cina. Desakan itu menguat dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (13/12), di mana anggota legislatif menyatakan adanya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami Muslim Uighur di Xinjiang, Cina. Untuk mempertimbangkan sikap pemerintah Indonesia dalam membela Muslim Uighur, perlu menelusuri langkah apa saja yang sudah dilakukan negara-negara lain dan lembaga internasional menyikapi masalah Muslim Uighur. Mengetahui langkah dunia tersebut, akan dapat menimbang seberapa kuat sikap Indonesia bisa menarik perhatian pemerintah Cina.

Cina dilaporkan telah menjalankan kamp-kamp yang menahan warga Muslim di Xinjiang. Dalam sebuah laporan, warga Muslim termasuk etnis Uighur menghadapi pembatasan aktivitas peribadatan dan indoktrinasi paksa pemerintah Cina. Sebanyak 1 juta etnis Uighur dan warga Muslim dilaporkan telah dipaksa berada di kamp tersebut.

Negara yang paling vokal menyatakan akan memberi sanksi kepada Cina atas perlakuan terhadap Muslim Uighur adalah AS. Pemerintahan Donald Trump menimbang hukuman bidang ekonomi kepada Cina karena pelanggaran HAM. Bahkan, parlemen AS telah menerbitkan undang-undang untuk memberi sanksi Cina. Parlemen AS mendesak pemerintah negara itu untuk melarang ekspor teknologi AS ke Beijing agar tidak digunakan dalam pengawasan dan penahanan massal etnis Uighur.

Selain itu, Jerman menyatakan keinginannya untuk mengunjungi kamp-kamp penahanan di Xinjiang. Akan tetapi permintaan yang disampaikan Komisioner Kebijakan HAM Jerman, Barbel Kofler ditolak oleh Cina. Jerman ingin Cina mengakhiri penahanan terhadap penduduk di Xinjiang. Jepang, Islandia, Prancis, dan Kanada juga telah menyuarakan keprihatinan serupa dan mendesak Cina menutup kamp. 

Lembaga internasional, PBB bersama lebih dari 12 negara menyerukan agar Beijing mengakhiri penanganan massal terhadap etnis Uighur di Xinjiang. PBB juga telah meminta pemerintah Cina untuk membuka akses langsung ke Xinjiang. Tujuan kunjungan itu untuk memverifikasi laporan pelanggaran HAM yang dilakukan Cina terhadap etnis minoritas Muslim di Xinjiang. PBB ingin Cina terlibat dalam dialog mengenai masalah tersebut. Bahkan, PBB menawarkan bantuan teknis untuk menangani ekstremisme yang selalu digunakan Cina sebagai alasan menindak keras Uighur.

Desakan negara-negara tersebut berlandaskan adanya laporan pelanggaran HAM yang dilakukan Cina. Dalam laporan Human Right Watch. Warga Muslim Cina yang berada di kamp penahanan dipaksa menghadiri kelas harian, mempelajari budaya Cina, dan berjanji setia kepada Partai Komunis Cina. Mereka juga mengalami penyiksaan oleh petugas keamanan Cina.

Gelombang protes pun telah dilakukan oleh warga Uighur di luar negeri dan pendukungnya. Organisasi Uygur Human Rights Project (UHRP) telah menyerukan negara-negara lain menghentikan hubungan bisnis dengan Cina sebagai tanggapan atas pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur. Warga yang ditahan dalam kamp dilaporkan dalam kondisi sekarat. Bahkan, peneliti dari Australian National University Thomas Cliff menyebut apa yang terjadi di Xinjiang merupakan suatu genosida atau pembersihan etnis. Cina diduga ingin menghapus semua budaya Uighur.

Besarnya desakan dari dunia internasional tersebut tidak mengubah sikap Cina. Laporan dari berbagai lembaga yang menyatakan kondisi HAM memburuk di Xinjiang ditolak oleh Cina. Delegasi Cina dalam pertemuan universal periodic review Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, November 2018, membantah klaim yang didirikan di Xinjiang untuk membuat Muslim Uighur meninggalkan agamanya. Mereka menyatakan kamp tersebut menawarkan pelatihan gratis bidang hukum, bahasa, dan keterampilan di tempat kerja. Langkah tegas di Xinjiang, disebutkan untuk mewujudkan stabilitas dan menindak separatisme etnis.

Penolakan atas semua laporan pelanggaran HAM dan desakan dunia tersebut menunjukkan sulitnya mendesak Cina. Meski demikian, sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM dan dihuni mayoritas Muslim dunia, Indonesia perlu membela etnis Uighur dan mendesak Cina menghentikan kamp dan diskriminasi di Xinjiang. Walaupun, efektivitas sikap dari Indonesia itu menjadi pertanyaan mengingat sikap Cina menghadapi desakan dunia dan adanya kerja sama ekonomi berbagai proyek yang selama ini terjalin oleh dua negara.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement