Ahad 16 Dec 2018 18:03 WIB

Vonis Rata-Rata 6 Tahun tak Buat Kepala Daerah Korup Jera

Vonis tersebut lebih rendah dari rata - rata tuntutan yaitu 7 tahun 5 bulan.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Esthi Maharani
Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar konferensi pers terkait jerat hukum yang menjerat kepala daerah koruptor di Kalibata, Jakarta Selatan. Ahad (16/12)
Foto: Republika/Arif Satrio Nugroho
Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar konferensi pers terkait jerat hukum yang menjerat kepala daerah koruptor di Kalibata, Jakarta Selatan. Ahad (16/12)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai proses hukum dan peradilan yang diterapkan pada para koruptor, khususnya kepala daerah di Indonesia belum cukup membuat jera. Rata-rata vonis terhadap kepala daerah yang terjerat korupsi adalah 6 tahun 4 bulan. Vonis tersebut lebih rendah dari rata - rata tuntutan yaitu 7 tahun 5 bulan.

"Ini menggambarkan ironi, di tengah maraknya praktik korupsi yang melibatkan kepala daerah, justru lembaga pengadilan memberikan vonis yang tidak memberikan efek jera," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam paparannya di Jakarta Selatan, Ahad (16/12).

Data vonis yang di bawah tuntutan jaksa, kata Kurnia, menunjukkan bahwa hakim masih kerap memberikan vonis di bawah rata-rata tuntuan Jaksa. Padahal, tidak ada aturan yang menghalangi hakim untuk memvonis di atas tuntutan.

Justru, hal yang dilarang adalah jika hakim memberikan vonis di atas pidana maksimal yang tertulis di undang-undang atau berlainan pasal yang didakwakan.

Lebih lanjut, Kurnia memaparkan. Terdapat beberapa faktor yang membuat vonis pada para kepala daerah koruptor tak maksimal. Faktor itu yakni, UU Pemberantasan Tipikor masih membuka celah untuk memberikan vonis ringan terhadap pelaku korupsi.

Untuk kategori merugikan keuangan negara, dalam pasal 3, disebutkan pidana penjara minimal hanya satu tahun untuk seseorang yang mempunyai jabatan. Pada pasal 2, untuk masyarakat umum, justru pidana minimumnya lebih rendah, yakni 4 tahun penjara.

Faktor berikutnya, lanjut Kurnia, ICW melihat bahwa hakim belum memandang korupsi sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary). Dari 84 perkara yang disidangkan di tingkat pertama, 41 di antaranya divonis ringan, dengan pidana di bawah 4 tahun. Hanya tiga perkara divonis berat, yakni di atas 10 tahun.

Di tingkat MA, dari total 28 perkara, 5 di antaranya divonis ringan. ICW menyebut hal ini erat kaitannya dengan kehadiran mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar yang kerap menghukum berat pelaku korupsi. Temuan dari catatan ini, dari lima vonis ringan itu, empat di antaranya tak diketuai Artidjo.

"Kejadian ini bukti bahwa Hakim Agung di MA sekalipun belum punya pandangan yang sama dengan Artidjo, yakni menghukum berat koruptor," ucap Kurnia.

Selanjutnya, penuntutan Jaksa KPK juga dinilai belum maksimal. Dari 84 perkara yang disidangkan, setidaknya 16 tuntutan termasuk kategori ringan (1 - 4 tahun). Padahal, jelas Kurnia, melihat konstruksi dakwaan, mayoritas menggunakan pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor yang memungkinkan pelaku korupsi dituntut seumur hidup.

Selain itu, para koruptor tidak akan kapok karena setelah melakukan korupsi yang merugikan negara pun, hal politiknya tak dicabut. Misalnya, kasus suap yang melibatkan Gubernur Sumatra Utara, Gatot Pujo Nugroho, terkait pembahasan APBD. Gatot memberi suap pada 38 anggota DPRD Provinsi Sumut.

"Ia divonis tanpa dicabut hak politiknya," kata Kurnia.

Maka itu, ICW mengusulkan agar MA mengeluarkan surat edaran pada seluruh jajaran pengadilan agar dapat menghukum seluruh pelaku korupsi, termasuk kepala daerah. KPK juga harus memaksimalkan tuntutuan yang meliputi penjara, uang pengganti dan pencabutan hak politik.

Untuk diketahui, ICW menghimpun data dari kasus kepala daerah, mulai dari Gubernur, Bupati dan Walikota terlibat korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak 2004 hingga 2018, 104 kepala daerah terjerat KPK. Dari data itu, tahun 2018 merupakan tahun terbanyak kepala daerah yang ditindak KPK, yakni sebanyak 29 orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement