REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kepala perunding Palestina, Saeb Erekat mengatakan, pengumuman oleh Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison muncul hanya dari politik domestik kecil semata. "Kebijakan pemerintahan Australia ini tidak melakukan apa pun untuk memajukan solusi dua negara," kata Erekat dalam sebuah pernyataan seperti dikutip Reuters, Sabtu (15/12).
Menurutnya, seluruh Yerusalem tetap menjadi masalah status final untuk negosiasi, sementara Yerusalem Timur, di bawah hukum internasional, merupakan bagian integral dari wilayah Palestina yang diduduki. Sementara itu, Juru bicara kementerian luar negeri Indonesia, Arrmanatha Nasir, mencatat bahwa Australia tidak memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. Pemerintah Indonesia pun meminta semua anggota PBB untuk mengakui negara Palestina berdasarkan prinsip solusi dua negara.
Perdana Menteri Australia Scott Morisson mengumumkan keputusan resmi pemerintahan Australia pada Sabtu (15/12) yang mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel. Langkah tersebut diputuskan setelah berbulan-bulan pemerintah Australia mempertimbangkannya.
"Australia kini mengakui Yerusalem Barat sebagai pusat Knesset (badan legislatif Israel) dan Yerusalem Barat adalah ibu kota Israel," kata Morrison kepada hadirin di The Sydney Institute seperti dikutip laman 9News edisi Sabtu (15/12).
Pemerintah Australia akan mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina, hanya setelah penyelesaian yang tercapai pada solusi dua negara. Morrison pun mengatakan, kedutaan Australia tidak akan dipindahkan dari Tel Aviv ke Yerusalem Barat sampai waktu yang ditentukan.
Meskipun pemerintah menunda memindahkan kedutaan, Morrison akan membentuk kantor pertahanan dan perdagangan di Yerusalem. "Kami juga akan mulai mencari tempat yang tepat untuk kedutaan," ujarnya.
Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana menilai pernyataan ini hendak mengesankan seolah ada pergeseran dari kebijakan sebelumnya yang hendak memindahkan kedutaan besar Australia dari Tel Aviv ke Jerusalem. Apa yang dilakukan oleh Morisson, menurutnya kemungkinan besar akan mengamankan posisi Morisson di mata konstituennya namun pada saat bersamaan di mata Indonesia.
"Perlu diketahui Indonesia tidak menyetujui rencana Australia memindahkan kedutaannya ke Jerusalem. Ketidak-setujuan Indonesia diwujudkan dengan memanfaatkan daya tekan untuk tidak menandatangani Perjanjian Perdagangan yang seharusnya dilakukan bulan Desember ini," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu.
Menurutnya, pernyataan Morisson untuk membedakan Yerusalem Barat dan Timur karena Yerusalem Timur adalah wilayah di mana kota suci tiga agama berada. Sementara, Yerusalem Barat adalah wilayah yang dijadikan Ibu Kota oleh Israel.
Dengan demikian, Morisson seolah ingin menyampaikan pesan bahwa Australia tetap menghormati resolusi PBB dan sikap Indonesia yang menyatakan kota suci tiga agama tetap merupakan wilayah yang berada dibawah PBB. "Taktik politik Morisson tentunya harus disikapi oleh Indonesia dengan tidak mengubah kebijakan untuk tidak menandatangani Perjanjian Perdagangan," kata dia.
Indonesia harus tetap pada pendirian bahwa Yerusalem adalah Yerusalem terlepas ada pembagian di dalamnya antara Barat dan Timur. "Pesan yang harus disampaikan oleh Indonesia kepada Australia adalah tidak seharusnya Australia menyetujui tindakan Israel untuk menjadikan Jerusalem sebagai Ibu Kota negaranya yang sebelumnya adalah Tel Aviv," kata dia.