REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Dinas Pertanian Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, menyebutkan lahan pertanian saat ini tersisa sekitar 1.500 hektare. Hal ini disebabkan karena terjadinya alih fungsi.
"Data itu berdasarkan data terakhir bulan Agustus 2018 dari Badan Pertanahan Nasional (BPN)," kata Kepala Dinas Pertanian Kota Mataram H Mutawalli.
Data BPN ini lebih rendah dari data sisa lahan pertanian berdasarkan kelompok tani dan Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Mataram. Ia mengatakan, merdasarkan data dari kelompok tani Mataram lahan pertanian di Kota Mataram saat ini tersisa sebanyak 1.888 hektre.
Sementara berdasarkan data foto satelit Bappeda tahun 2016 tercatat 1.600 hektare. "Jadi yang kita gunakan data dari BPN, karena merupakan data terbaru," ujarnya.
Ia mengatakan, jumlah lahan pertanian di Kota Mataram dari tahun ke tahun terus menurun. Hal itu disebabkan tingginya aktivitas alih fungsi lahan. Dimana aktivitas alih fungsi lahan hingga akhir tahun ini tercatat sekitar 41 hektare.
"Tapi, kalau dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, alih fungsi lahan tahun ini relatif rendah karena belum adanya pengesahan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)," kata
Ia mengatakan, dengan belum adanya pengesahan RTRW tersebut, berbagai izin pembangunan diberbagai bidang seperti jasa, perhotelan dan perumahan yang akan menyumbang alih fungsi lahan belum bisa teralisasi.
Pada sekitar tahun 2016, alih fungsi lahan di Mataram cukup tinggi bahkan hingga mencapai sekitar 90 hektare. Sejak tahun 2017 aktivitas alih fungsi lahan cenderung menurun.
"Apabila Perda RTRW sudah disahkan aktivitas alih fungsi lahan secara masif kembali akan terjadi, untuk berbagai kepentingan pemerintah dan masyarakat, termasuk untuk dunia pendidikan," katanya.
Dikatakan, alih fungsi lahan di kota itu sulit dibendung karena pesatnya perkembangan di daerah ini.
"Untuk membendung alih fungsi lahan memang tidak mudah, karena perkembangan kota sudah sedemikian rupa sehingga mau tidak mau alih fungsi lahan tidak bisa kita hindari," katanya.
Namun demikian, kata dia, alih fungsi lahan secara masif misalnya untuk perumahan masih dapat ditekan melalui pengeluaran izin mendirikan bangunan (IMB), jika lahan tersebut tidak memungkinkan untuk dijadikan perumahan.
"Yang sulit dan tidak bisa kita kontrol adalah alih fungsi lahan yang menghabiskan sekitar 1-2 are, tetapi menghabiskan lahan secara masif. Contohnya di kawasan Karang Baru ke timur yang kini sudah hampir habis menjadi rumah warga," ucap dia.