Rabu 12 Dec 2018 01:07 WIB

JK: Korupsi di Daerah Marak Karena Perubahan Sistem

Korupsi juga semakin meluas dan terbagi-bagi.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Korupsi
Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengatakan, maraknya korupsi di daerah akibat adanya perubahan sistem pemerintahan. Salah satunya yakni desentralisasi, dimana kewenangan pemerintah pusat telah dilimpahkan ke pemerintah daerah.

"Salah satu teori atau pun ungkapan yang selalu disebut kan "power tend to corrupt". Jadi dulu power itu ada di pusat, jadi orang pusat banyak yang korup, di daerah hanya ikut saja apa yang diputuskan oleh pusat, begitu halnya DPR. Sekarang power itu terbagi-bagi, terbagi di Pusat, sepertiga; sepertiga DPR; sepertiga daerah," ujar Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden, Selasa (11/12).

Karena ada pembagian kekuasaan tersebut, maka korupsi juga semakin meluas dan terbagi-bagi. Apalagi, daerah diberikan kewenangan penuh dalam perizinan proyek investasi dan kemandirian pertumbuhan daerahnya. Sehingga daerah mempunyai kekuasaan untuk mengatur anggarannya masing-masing.

"Maka di situ letaknya, maka power-nya, otonomi diserahkan ke daerah dan juga ke DPR, maka tend to corrupt itu terjadi," kata Jusuf Kalla.

Jusuf Kalla mengatakan, untuk menyelesaikan persoalan korupsi di daerah tidak bisa hanya dengan perbaikan efisiensi dan transparansi. Namun juga harus ada perbaikan pendapatan atau gaji ASN, sehingga diharapkan dapat mengurangi tindak pidana korupsi di daerah.

Adapun peningkatan gaji ASN telah dilakukan oleh pemerintah pusat melalui kenaikan tunjangan kinerja. Jusuf Kalla tak menampik bahwa, kenaikan tunjangan kinerja (tukin) ini akan menambah beban APBN.

"Itu juga sebenarnya sudah dinaikkan dalam tukin namanya, tukin itu cukup baik, sehingga menambah pendapatan. Dan itu tentu beban APBN lebih tinggi lagi," kata Jusuf Kalla.

Selain itu, Jusuf Kalla menyebut, mahalnya ongkos politik juga menjadi penyebab maraknya korupsi di daerah. Tak jarang, para kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada harus mengembalikan modal politik, sehingga muncul tindakan korupsi.

"Sistem politik juga, makin banyak pemilu, makin banyak ongkos, makin banyak (korupsi), sehingga kalau semua level pilkada ada, kemudian kampanye makin lama, makin banyak ongkos juga, itu juga benar, jadi makin banyak ongkos banyak orang korup untuk mengembalikan modal. Kadang-kadang juga modal dipinjam kan untuk kampanye atau terjadi barter-barter, itu lebih bahaya," ujar Jusuf Kalla.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement