Senin 10 Dec 2018 07:56 WIB

Reuni 212 dan Ekonomi Informasi

Reuni 212 merupakan ekspresi jiwa atau batin pesertanya.

Iman Sugema
Foto: Republika/Da'an Yahya
Iman Sugema

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Iman Sugema

Barangkali ada banyak hal yang membuat pemerintah pada khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam memahami apa itu gerakan 212. Platform intinya mungkin tetap sama, yaitu ekspresi untuk membela agama.

Namun, gerakan 212 pekan lalu sangatlah berbeda dengan gerakan awalnya. Dulu, merupakan gerakan antipenista agama. Sekarang ia telah berevolusi menjadi gerakan bela kalimat tauhid.

Kemudian, apa hubungannya dengan ekonomi informasi? Tentu sangat erat kaitannya, walaupun saya tidak akan menerangkan definisi apa itu ekonomi informasi. Singkatnya begini. Keputusan untuk membeli sangat dipengaruhi oleh cara penjual menyampaikan informasi kepada pembeli.

Semakin meyakinkan informasi yang diberikan makin besar peluang mendapatkan pembeli. Semakin informasi menyentuh sisi emosional maka makin tinggi harga jual. Itulah yang disebut dengan emotional premium, konsumen rela membayar mahal karena barang itu merefleksikan jati dirinya.

Sesederhana itu? Ya memang. Coba kita kaji mengapa orang mau berbondong-bondong datang ke Monas pekan lalu. Kalau bukan karena ada sentuhan emosional, lalu apa lagi? Mungkin ada partai atau ormas yang melakukan pengerahan masa.

Namun, jumlahnya pasti jauh di bawah total massa yang datang. Mayoritas yang datang hampir bisa dipastikan karena hatinya tergerak untuk datang, bagaimanapun caranya.

Itulah yang disebut dengan emotional premium. Reuni 212 merupakan ekspresi jiwa atau batin pesertanya.

Kegagalan memahami hal seperti ini membuat kita semua salah duga mengenai gerakan ini. Konsultan politik pun sangat terperangah dengan jumlah masa yang datang. Ada yang bilang 300 ribu, atau 1 juta, bahkan 11 juta orang. Berapa pun Anda hitung pasti salah dan bukan itu intinya.

Yang jelas, massa tumpah ruah entah dari mana asalnya. Kalau melihat jumlah bus dari luar kota, pasti mayoritas yang datang adalah dari Jakarta dan sekitarnya. Ada sih dari luar itu bahkan luar pulau sekalipun. Tapi jumlahnya sedikit saja.

Kembali ke masalah emosi dan jiwa. Ilmu ekonomi sudah sejak lama memberi fondasi mengenai hal ini dan sangat relevan dalam memahami situasi politik sekarang ini. Kalau sebuah produk sudah bisa disangkutkan ke alam bawah sadar, konsumen memiliki miltansi untuk membeli. Berapa pun harganya, apa pun kualitas aslinya. Tidak ada kaitan antara kualitas dengan harga.

Jadi dalam dunia politik sekarang ini juga sama. Tidak ada kaitan yang jelas antara emosi yang dibangun dengan isu yang sebenarnya. Salah satunya adalah isu pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid. Sejatinya bendera “semacam” itu dikibarkan pada saat Rasulullah SAW dan pasukannya pergi berperang melawan pasukan kafir. Bendera hitam dan putih adalah bendera perang. Tidak boleh sembarangan membawa bendera semacam itu.

Namun, setelah insiden pembakaran bendera di Garut, narasi yang dikembangkan adalah bela kalimat tauhid dan bela panji Rasulullah. Inilah masalahnya. Ketika pemerintah sudah menghukum pembakar bendera sekalipun, sentimen tauhid tidak kunjung padam dan malah membesar.

Jelas ada perbedaan yang sangat mendasar antara persepsi tauhid dan makna bendera yang sebenarnya. Yang jelas persepsi tauhid lebih diterima. Artinya, yang datang ke demo di Monas lebih memaknai gerakan mereka sebagai bentuk ekpresi membela kalimat tauhid melalui pengibaran bendera dan ikat kepala hitam putih. Sederhananya, mereka ingin mengatakan “Aku Islam” dan “Aku Bertauhid”. Kamu?

Seperti teori ekonomi bilang, kalau sudah menyangkut jiwa, menjadi tidak penting apakah ada kaitan antara ekspresi dengan isu sebenarnya. Masalahnya kemudian apakah ini akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap pilihan politik? Habib Rizieq Shihab (HRS) sendiri sudah memberi “fatwa” jarak jauh untuk memilih Prabowo-Sandi. Padahal, secara kasat mata yang lebih Islam adalah Jokowi-Ma’ruf Amin.

Kalau narasi yang dikembangkan oleh HRS dan kawan-kawan kelak berhasil dimanifestasikan dalam bentuk perolehan suara Prabowo-Sandi maka itu juga berarti kegagalan Jokowi-Ma’ruf Amin menjadi representasi psikologis Islam. Perebutan di tataran persepsi dan jiwa inilah kelak yang akan menjadi battle field yang sebenarnya.

BACA JUGA: Analisis Haedar Nashir: Dunia Anomali

Seperti yang saya bilang berulang-ulang, di arena ini tidak penting ada kaitan langsung antara emosi dan makna yang sebenarnya. Touch the emotion of people please.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement