Jumat 07 Dec 2018 19:28 WIB

Perang Tarif Terkini Go-Jek dan Grab, Ini Opini Pengamat

Tarif yang kompetitif cuma merupakan satu dari tiga komponen menjaring pengguna.

Layanan ojek berbasis aplikasi, Gojek (ilustrasi).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Layanan ojek berbasis aplikasi, Gojek (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang tarif di bisnis transportasi daring saat ini dinilai dimulai oleh Grab berupa penerapan strategi tarif sangat rendah ke konsumen dan banjir promo. Demikian opini pengamat transportasi dari Institut Teknologi Komunikasi dan Informasi (Information and Communication Technology/ICT), Heru Sutadi.

"Grab punya andil sebagai yang memulai perang tarif ini. Jadi, tidak bisa lepas tangan begitu saja. Kenaikan angka pengguna Grab sangat dipengaruhi oleh tarif yang terlampau murah dan banjir promo," kata Heru Sutadi kepada wartawan di Jakarta, Jumat (7/12).

Menurut Heru, perusahaan asal Malaysia ini memang sempat menggencarkan promo tarif Rp 1 demi menjaring pengguna dan menantang Go-Jek di pasar Indonesia. Sampai akhirnya, kata Heru, Go-Jek merespons tindakan Grab tersebut dengan ikut melakukan penyesuaian tarif dan memberikan promo.

Bagi Heru, tindakan Go-Jek merupakan hal yang wajar terjadi dalam urusan persaingan bisnis.  "Kalau Go-Jek melakukan penyesuaian tarif, itu karena Grab melakukan hal tersebut terlebih dahulu. Wajar saja, jadi tak perlu ada kritik," ujar dia.

Dalam persaingan ini, kata Heru, tarif yang kompetitif cuma merupakan satu dari tiga komponen upaya menjaring lebih banyak pengguna.  Masih ada dua komponen penentu lainnya, yaitu layanan berkualitas dan kelengkapan layanan dalam satu aplikasi.

Aspek ketiga, yaitu saling berkaitan erat dalam upaya menggaet konsumen lebih banyak lagi. Hanya, kata Heru menegaskan, strategi penerapan tarif murah untuk konsumen juga harus tetap memperhatikan kesejahteraan mitra pengemudi sebagai pilar di bisnis ini.

"Harus ada jaminan kesejahteraan. Selama ini, kita melihat investasi ke Grab cukup besar, tapi seperti tidak menetes ke pengemudinya. Makanya sampai terjadi demo dan migrasi pengemudi," kata Heru.

Heru mengatakan, fenomena migrasi mitra pengemudi Grab ke Go-Jek sangat dipengaruhi oleh persoalan kemampuan perusahaan memberikan kenyamanan dan jaminan kesejahteraan. Menurut Heru, selain soal tarif dan insentif untuk mitra pengemudi Grab terlampau rendah, sementara layanan Go-Jek jauh lebih banyak dan populer guna membantu mendongkrak pendapatan lebih layak.

"Kita semua tahu, popularitas Go-Food dan Go-Send, serta skema top up Go-Pay sebagai opsi tambahan pendapatan, belum bisa disaingi oleh Grab. Ini jelas menjadi daya tarik untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih layak," ujar Heru.

Sebelumnya, Managing Director Grab Indonesia Rizki Kramadibrata mengkritik penyesuaian tarif yang dilakukan oleh Go-Jek. VP Corporate Affairs Go-Jek Michael Say pun kemudian merespons kritik tersebut dengan menyatakan bahwa penyesuaian dilakukan justru demi mengikuti kondisi pasar dan menjamin daya saing mitra pengemudi.

Pada kenyataannya, tarif yang diterima mitra pengemudi Go-Jek saat ini justru masih lebih tinggi daripada tarif Grab. Berdasarkan data perbandingan di lapangan, tarif yang diterima pengemudi Grab adalah Rp 1.200 per kilometer untuk perjalanan jarak dekat, sedangkan Go-Jek memberikan tarif Rp 1.600 per kilometer.

"Yang wajib dipahami, struktur tarif yang dimiliki Go-Jek itu dibagi dua, tarif yang dikenakan ke pelanggan dan tarif yang kami bayarkan ke mitra," katanya dalam keterangan yang diterima, Jumat.

Memang, kata Michael, penyesuaian tarif dilakukan Go-Jek belum lama ini guna menyesuaikan dengan kondisi pasar yang saat ini terindikasi mengarah ke persaingan usaha tidak sehat. Padahal bagi Go-Jek, katanya, pendapatan dan kesejahteraaan mitra driver yang berkesinambungan merupakan prioritas.

"Sehingga dapat terjadi dominasi pasar yang bisa  mengancam keberlangsungan para driver," ungkap Michael.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement