Jumat 07 Dec 2018 01:00 WIB

Perlukah Jumlah SKS Dipangkas?

Angka 144 SKS jenjang S1 tidak terdistribusi rata selama 8 semester.

Dwi Murdaningsih
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwi Murdaningsih*

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengkaji wacana penurunan jumlah satuan kredit semester (SKS) yang harus ditempuh mahasiswa di jenjang pendidikan perguruan tinggi. Saat ini, mahasiswa sarjana di Indonesia harus menyelesaikan 144 SKS untuk lulus.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir,  menilai bobot SKS yang dijalani sekarang membebani mahasiswa dan dosen. Nasir mengatakan di luar negeri, beban kredit yang harus dicapai mahasiswa adalah 120 SKS. Jika dalam waktu 4 tahun mahasiswa harus menyelesaikan 144 SKS, artinya, dalam sepekan mahasiswa harus belajar selama 54 jam.

Pembelajaran di kampus luar negeri, dalam sepekan mereka hanya belajar selama 36 jam. Dengan jumlah SKS yang mencapai 144, Nasir menganggap dosen terlalu sibuk mengajar di kelas dan lupa melakukan penelitian.

Perlukah jumlah SKS dipangkas agar lebih efektif?. Sejatinya jumlah jam belajar seharusnya berbanding lurus dengan kemampuan yang dimiliki. Semakin banyak membaca akan semakin banyak tahu. Dan semakin banyak belajar tentu akan semakin banyak bisa. Begitu logika sederhananya.

Seorang altet, dengan jam latihan semakin tinggi (seharusnya) akan semakin mahir dan makin siap dalam bertanding. Namun, perlu diingat, dalam sebuah proses apapun, termasuk belajar ada batasan waktu optimal. Jika digambarkan dalam sebuah kurva, waktu optimal itu berada di puncak. Setelah melewati waktu optimal, kemudian grafik akan mengalami penurunan hingga sampai ke titik nol.

Inilah yang perlu dikaji oleh Kemenristekdikti. Jumlah puncak kurva sebagai waktu belajar optimal nantinya bisa diterjemahkan sebagai angka SKS. SKS sebagai salah satu ukuran beban mata kuliah tentu seharusnya disiapkan sebagai bekal agar mahasiswa siap menghadapi kehidupan pascakampus.

Sebanyak 144 SKS untuk jenjang S1 tidak terdistribusi rata selama 8 semester. Di semester-semester awal umumnya mahasiswa dibebankan pada jumlah SKS yang banyak, sekitar 20 barangkali. Namun, memasuki semester keenam, biasanya jumlah SKS sudah semakin sedikit. Mahasiswa bisa memanfaatkan saat-saat tersebut untuk mencari pengalaman belajar selain dari kampus. Misalnya dengan melakukan penelitian lapangan, atau program magang.

Apakah 144 SKS itu berat? Jawaban ini bisa beragam, dan relatif. Bagi penulis, berat atau tidak, semua itu sudah dijalani. Kalau mengingat kembali masa-masa kuliah dulu, rasanya kok 'tidak berat-berat banget' meski penulis lulus molor dari jadwal ideal seharusnya 4 tahun.

Kalau melihat rekan-rekan penulis dulu yang lulus tepat waktu, rasa-rasanya mereka juga masih memiliki waktu dan energi untuk melakukan berbagai penelitian. Semua kembali lagi kepada manajemen waktu dan susunan prioritas saat berkuliah.

Jumlah SKS, berapapun angkanya harus bisa menghasilkan lulusan yang berkualitas.  Seperti apa lulusan yang berkualitas? Tentu lulusan yang bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman.

Memasuki revolusi industri 4.0, persaingan kian ketat. Persaingan bukan lagi hanya lulusan kampus dalam negeri, namun juga kampus-kampus di luar negeri. Yang memenangkan persaingan juga bukan semata lulusan dengan IPK tertinggi, atau lulus dengan jumlah SKS terbanyak semasa kuliah. Mereka yang memenangkan persaingan adalah para lulusan yang ‘tahan banting’ sehingga bisa bertahan menghadapi persaingan tersebut.

Kampus perlu memberikan waktu bagi mahasiswa untuk juga mengembangkan bakat yang dimiliki, dengan berbagai kegiatan yang mampu mengasah soft skill. Misalnya, kesempatan mengikuti organisasi. Model pembelajaran pun harus disesuaikan dengan kebutuhan revolusi industri 4.0. Tidak bisa kini dosen hanya mengajar dari buku teks. Zaman semakin maju, mahasiswa dituntut untuk kian mandiri.

Salam semangat, para mahasiswa…

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement