Rabu 05 Dec 2018 06:24 WIB

Pemprov Fokus Cegah Penurunan Tanah

Sejak 1960-an, ruang terbuka hijau di Jakarta berkurang lebih dari 30 persen

Rep: Farah Noersativa/Antara/ Red: Bilal Ramadhan
Penurunan muka tanah
Foto: blogspot.com
Penurunan muka tanah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta, Ricki Marojahan Mulia mengatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta saat ini tengah fokus terhadap dua langkah dalam pencegahan penurunan tanah di DKI Jakarta. Kedua hal itu adalah dengan pembangunan drainase vertikal atau sumur resapan dan melakukan pembatasan izin pengambilan tanah di beberapa wilayah.

“Jadi cara yang konservasi itu adalah dengan menggunakan drainase vertikal, yaitu suatu metode untuk memasukkan air, menggunakan saluran vertikal secara alamiah ke dalam tanah, tetapi itu dalam zona akifer, zona yang di situ merupakan tempat air tanah yang terdapat dalam rongga batu-batuan atau pasir. Bisa dikatakan sumur resapan sedang atau sumur resapan dalam,” kata Ricki kepada Republika, Selasa (4/12).

Dia menjelaskan, dengan adanya penyerapan air ke dalam tanah melalui sumur resapan air, maka hal itu termasuk dalam upaya menahan permukaan tanah agar tidak menurun. Selanjutnya, upaya kedua adalah pembatasan penggunaan air tanah terutama di daerah-daerah yang termasuk ke dalam zona konservasi untuk air tanah.

Dia mencontohkan, daerah Jakarta Utara yang merupakan salah satu zona konservasi. Dalam pemetaannya, daerah tersebut juga memiliki sub-subzona yaitu, subzona ruska dan juga subzona kritis.

“Untuk subzona rusak, ini tidak boleh memperpanjang izin atau membuat izin baru untuk penggunaan pemanfaatan air tanah. Kemudian, untuk sub zona kritis, ini perpanjangan izin boleh, tapi, izin baru tidak boleh,” jelas Ricki.

Selanjutnya, pihaknya membenarkan telah melakukan uji coba pembangunan drainase vertikal pada Oktober lalu. Selanjutnya, pihaknya juga telah mengajukan anggaran pembangunan sebanyak 1.333 sumur resapan untuk dibangun dengan anggaran 2019 mendatang.

Menurutnya, pihaknya telah mengajukan sebanyak sekitar Rp 2,8 miliar untuk pembangunan 33 sumur resapan sedang, dan sebanyak Rp 12,5 miliar untuk pembangunan 1.300 sumur resapan dangkal. Pengajuan anggaran itu, kata dia, telah disepakati pada rapat Badan Anggaran beberapa waktu lalu.

Pihaknya menyebut, prosesnya saat ini tengah berada pada tahap pengajuan kepada Kementerian Dalam Negeri RI. Namun, dia sendiri tak bisa menjelaskan perihal target khusus penurunan angka penurunan permukaan tanah di DKI Jakarta.

Akan tetapi, dia mengupayakan untuk tak ada lagi penurunan permukaan tanah setelah dilakukan pembangunan drainase vertikal. Dia optimistis Pembangunan drainase vertikal akan dibangun pada Januari 2019 mendatang.

Sebab, penurunan permukaan tanah juga dipengaruhi oleh batu-batuan di Jakarta, atau termitologi Jakarta yang relatif mudah. Sehingga, batu-batuan yang di bawah tanah Jakarta, kata dia belum stabil. Kemudian penyebab kedua adalah pembebanan dari bangunan yang ada di atas tanah itu sendiri.

Pemprov DKI Jakarta pun juga telah membentuk tim terpadu untuk pengawasan terhadap pengambilan air tanah pada zona-zona yang dilarang. Dia berharap, masyarakat juga turut memahami dengan tidak lagi membangun sumur produksi, dan mendorong untuk membangun sumur resapan.

“Jadi kalau memang akan membangun apartemen, tolong juga membuat sumur resapan. Jangan hanya membangun dan mengambil air tanah pakai jetpam tapi tidak tanggung jawab untuk memasukkan lagi air ke dalam tanah,” jelas Ricki.

Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Pantas Nainggolan membenarkan bila adanya penurunan permukaan air tanah disebabkan adanya kesalahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terutama di wilayah Jakarta Utara. Menurutnya, bila memang sebuah ruangan harus dipergunakan untuk tangkapan air, seharusnya tidak didirikan bangunan.

“Jadi tata ruang yang memang berada di bawah permukaan laut, yang fungsinya selama ini jadi tangkapan air, ya jangan digunakan untuk yang lain-lain. Gunakan untuk itu menampung air, jangan dibuat untuk jadi bangunan,” kata Pantas, Selasa (4/12).

Dia mengatakan, selama ini terdapat penyimpangan-penyimpangan di RTRW. Pada era 1960-an, atau pada awalnya, ruang terbuka hijau sendiri masih ada sebanyak 40 persen. Akan tetapi, faktanya, saat ini, ruang terbuka hijau hanya tersisa sebanyak 10 persen.

“Artinya kan ada inkonsistensi. Itu yang saya pikir tidak boleh terjadi lagi bahkan ya harus. Karena kita harus mengejar ruang terbuka hijau itu sampai 30 persen. Itu ruang terbuka hijau minimal 30 persen,” jelas Pantas.

Sebelumnya, hasil penelitian mikro gravitasi empat dimensi (4D) antara 2014 dan 2018 terindikasi telah terjadi penurunan permukaan tanah hampir di semua kawasan di daerah Jakarta Utara. Penurunannya sekitar 11 sentimeter (cm) per tahun.

"Laju penurunan rata-rata sekitar 11 cm per tahun," kata peneliti Universitas Indonesia (UI) Syamsu Rosid, Senin (3/12) lalu.

Menurutnya pemerintah provinsi DKI Jakarta perlu makin waspada akan kondisi ini dan fokus mengawasi dan mengevaluasi (Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) khususnya di wilayah Jakarta Utara. Fenomena penurunan permukaan tanah ini sangat mungkin disebabkan eksploitasi air tanah yang berlebihan.

Penurunan berdampak pada turunnya permukaan air tanah serta makin berkurangnya lahan hijau terbuka sebagai zona resapan air tanah permukaan. Dosen Program Studi Geofisika itu juga menambahkan penurunan permukaan tanah juga bisa diakibatkan aktivitas manusia yang banyak memicu munculnya getaran atau vibrasi pada permukaan tanah.

Seperti truk-truk bertonase berat yang banyak berlalu lalang di wilayah Jakarta Utara. Penurunan permukaan tanah ini tentu saja dapat berdampak kepada stabilitas gedung-gedung dan bangunan infrastruktur di atasnya.

Juga meningkatkan potensi terjadinya banjir rob di daerah Jakarta Utara. Karena daratan yang semakin rendah dibandingkan permukaan air laut. "Terutama saat terjadinya air pasang oleh adanya gaya tarik Bulan," jelas Syamsu.

Sebelumnya penelitian tentang penurunan permukaan tanah di Jakarta ini telah dipublikasi pada Pertemuan Ilimiah Tahunan (PIT) HAGI ke-43 September 2018 di Semarang Jawa Tengah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement