Rabu 05 Dec 2018 04:23 WIB

Reuni Akbar 212: Antara Pesan Damai dan Pesan Politik

Kehadiran peserta pada Reuni Akbar 212 tak mampu dibendung

Sejumlah massa mengibarkan bendera tauhid saat mengikuti reuni aksi 212 di Lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Ahad, (2/12).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Suasana masa mengikuti reuni aksi 212 di Lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Ahad, (2/12).

Pesan Politik

Sebuah gerakan sosial itu selalu membuka celah kemungkinan tafsir politik, apalagi secara kuantitatif mampu menghadirkan jutaan manusia dalam satu gerakan yang seirama. Gerakan jutaan manusia ini tidak hanya rawan kemungkinan tafsir politik, tetapi juga rawan godaan dan intervensi politik.

Sebenarnya pesan politik justru terlihat lebih awal yaitu beberapa hari sebelum tanggal 2 Desember yaitu terlihat dari respon Istana sebagaimana dinarasikan diawal tulisan ini, tidak tanggung-tanggung yang merespon adalah Moeldoko Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) dan Wiranto Menkopolhukam, mereka para purnawirawan jendral TNI yang sedang berada di pemerintahan saat ini.

Baca Juga:

Dalam studi politik, pesan politik itu sering terkait dengan apa yang disebut motif politik, tetapi membaca motif politik sama halnya dengan membaca berita di balik berita, membaca pernyataan dibalik pernyataan. Karenanya sulit membaca motif politik kecuali dengan mencermati pernyataan-pernyataan politiknya. Anthony Giddens (1991) dalam Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age, memposisikan motif sebagai tingkatan kesadaran ketiga dari agen. Motif itu sering kali lebih terlihat pada peristiwa yang tidak biasa.

Gerakan reuni akbar 212 itu secara sosiologis adalah peristiwa yang tidak biasa, karenanya tentu memiliki motif. Motif bisa dibaca dari bahasa atau narasi atau pernyataan-pernyataan. George Orwell (1946) 72 tahun lalu mengingatkan politik bahasa secara tekstual dalam buku Politics and the English Language. Logika Orwell bisa saja dipinjam untuk memberi makna kontekstual bahwa di balik bahasa, narasi dan pernyataan ada makna politik.

Jika dicermati pernyataan Moeldoko dan Wiranto itu lebih kental dimaknai sebagai pesan politik Istana pada oposisi. Agar oposisi menghentikan gerakanya. Namun pesan politiknya gagal, gerakan terus berjalan. Itu fakta pesan politik gerakan reuni 212 2018 yang justru datang dari Istana.

Sebaliknya, gerakan reuni akbar 212 selain memiliki pesan Damai bermotif keagamaan tetapi juga bisa ditafsirkan memiliki pesan politik tetapi bukan kampanye politik. Cara membacanya sama dengan cara membaca motif politik, menggali pesan di balik pesan gerakan. Pesan politiknya itu terlihat minimal dari empat indikator yaitu (1) peristiwa, (2) momentum, (3) aktor politik, dan (4) narasi-narasinya.

photo

Jika dicermati dari peristiwanya terlihat jelas itu digagas oleh mereka yang pada tahun 2016 menggagas gerakan bela Islam. Momentumnya juga jelas terjadi menjelang pilpres 2019. Aktor yang terlibat juga jelas para politisi, ada Amien Rais, Zulkifli Hasan, Hidayat Nurwahid dan Prabowo Subianto.

Jika dicermati dari narasi para elite politik yang hadir tersebut tidak ada satu pun narasi politik, tetapi pesan politik itu dapat dicermati di balik narasi. Pesan politik di balik narasi dan berkumpulnya jutaan manusia tersebut adalah mereka seolah ingin mengatakan, kepada bangsa Indonesia dan dunia bahwa jutaan manusia yang hadir di Jakarta menginginkan pemimpin baru. Karena pesan politik itu hanya bisa dibaca melalui tafsir narasi, maka ia tidak bisa ditafsir sebagai kampanye politik. Sebuah model pesan politik yang menarik dari gerakan sosial besar berbasis religiusitas di era politik viral.

*) Ubedilah Badrun, analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement