Selasa 04 Dec 2018 13:20 WIB

Jadi Korban Importir Bawang Putih, Ratusan Petani Merugi

Pemerintah mewajibkan importir menanam 5 persen bibit bawang putih di dalam negeri

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja menata tumpukan bawang putih impor. ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
Pekerja menata tumpukan bawang putih impor. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN — Ratusan petani di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang mengaku merugi ratusan juta rupiah. Ditengarai mereka menjadi korban importir nakal yang sengaja memanfaatkan gabungan kelompok petani (gapoktan) untuk memenuhi regulasi impor bawang putih.

Ketua Gapoktan Selongisor, Desa Batur, Pitoyo (51) mengungkapkan, selain merugi telah mengeluarkan biaya untuk mempersiapkan lahan, ratusan petani di desanya juga tidak produktif setelah lahan yang dipersiapkan tersebut menganggur dalam setahun terakhir.

Baca Juga

Total lahan yang menganggur di Kecamatan Getasan ini sedikitnya mencapai 435 hektare. “Khusus di Desa Batur, luasnya mencapai 110 hektare yang dikelola oleh 12 Gapoktan,” ungkapnya, Selasa (4/12).

Ia menjelaskan, persoalan yang dihadapi Gapoktan Selongisor ini berawal pada tahun 2017 lalu, saat mereka menandatangani nota kesepahaman (MoU) kerja sama dengan PT Cipta Makmur Sentosa, yang tak lain merupakan importir bawang putih asal Surabaya.

Dalam MoU tersebut importir bekerja sama dengan Gapoktan untuk ditanami bawang putih. Karena ketentuan ini dipersyaratkan melalui  Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).

Di mana importir diwajibkan menanam 5 persen bibit bawang putih di dalam negeri dari total jumlah rencana impor yang akan diajukannya. “Di dalam pelaksanaannya, pelaku usaha (importir) disyaratkan untuk bekerja sama dengan kelompok tani lokal, yang diketahui oleh Kepala Dinas Pertanian Kabupaten/ Kota,” ungkapnya.

Namun, lanjutnya, setelah setahun MoU berlalu, bibit bawang putih yang dijanjikan pihak importir tersebut tidak kunjung direalisasikan. Sehingga selama kurun waktu tersebut ratusan hektare lahan petani menganggur dan tidak bisa ditanami.

Sebaliknya para petani juga tidak berani menanam dengan tanaman lain, pada lahan yang sudah dipersiapkan tersebut. Mereka khawatir bakal dipermasalahkan karena telah melanggar kerja sama yang telah disepakati.

Bahkan nasib kerja sama tersebut kian tidak jelas hingga saat ini. Sehingga para petani yang tergabung dalam Gapoktan Selongisor merasa dirugikan oleh kerjasama ini. Bahkan jika dikalkulasi kerugian tersebut mencapai ratusan juta rupiah.

Karena untuk mempersiapkan lahan siap tanam, petani juga sudah keluar biaya. Selain itu, selama hampir satu tahun lahan pertanian tersebut juga tidak bisa ditanami.

“Seandainya ratusan hektare lahan tersebut ditanami sayuran, seharusnya kami, para petani sudah bisa merasakan hasilnya,” ujar Pitoyo.

Terkait hal ini, ia pun mengkhawatirkan para petani telah menjadi korban dari importir nakal yang hanya memanfaatkan Gapoktan untuk realisasi wajib tanam 5 persen, yang dipersyaratkan Permentan Nomor 38 tahun 2017 tentang RIPH.

Alih- alih memenuhi kewajiban 5 persen tanam tersebut, importir hanya memanfaatkan MoU dengan para kelompok tani di daerah demi mendapatkan bukti RIPH yang seakan- akan kewajiban tersebut sudah dilaksanakan.

Pitoyo juga menjelaskan, MoU dengan PT Cipta Makmur Sentosa, dilakukan sejumlah Gapoktan di wilayah kabupaten Getasan dan diketahui oleh Dinas Pertanian Perikanan dan Pangan Kabupaten Semarang, akhir tahun 2017.

Dalam perjanjian tersebut importir menjanjikan 5 hingga 6 kwintal benih bawang putih per hektare lahan. Kontrak kerjasama lahannya dimulai sejak November 2017 hingga Februari 2019 dengan dua kali masa tanam.

Sedangkan petani dan Gapoktan menyiapkan lahan dan pihak perusahaan menjanjikan batuan benih, alat pertanian dan pupuk. Adapun persentase hasilnya 70 persen untuk petani dan 30 persen untuk importir.

Namun hingga kini petani belum pernah menerima bibit bawang putih seperti yang dijanjikan. Pun demikian pemberian alat pertanian yang dimaksud. Ia juga mengaku sudah sering menghubungi PT Cipta Makmur Sentosa.

Namun importir tersebut juga selalu berdalih. Mulai dari alasan masih ada kendala benih, kendala di regulasi ekspor impor dan lainnya. “Kami berharap Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian turun tanganguna menyelesaikan permasalah petani di Kecamatan Getasan ini,” tambahnya.

Terpisah, Yanto (43), petani Desa Kopeng, juga mengamini kerugian yang dialami para petani. Ia mengaku, akibat kerjasama ini petani harus kehilangan momentum untuk menanam tembakau yang menjadi komoditas andalan para petani di Kecamatan Getasan pada masa musim kemarau.

Padahal pada musim tanam tembakau, beberapa waktu lalu harganya cukup bagus. “Kami para petani bingung, mau menanam tembakau sudah terikat kerjasama dan harus menepati janji dengan importir tersebut,” tandasnya.

Akibatnya, sebanyak 38 petani asal Desa Kopeng yang ikut menandatangani kerjasama ini harus gigit jari saat petani di desa lain panen raya tembakau. Ia pun berharap pemerintah tidak tinggal diam atas persoalan yang dialami para petani di Kecamatan Getasan ini.

Karena pada saat perjanjian dengan pihak importir ditandatangani, wakil pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pertanian Perikanan dan Pangan juga turut hadir untuk mengetahui kerja sama ini.

“Kalau tidak kepada pemerintah, kepada siapa lagi kami harus menyampaikan persoalan yang dialami ratusan petani di Kecamatan Getasan ini,” tambah Yanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement