REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan fasilitas pendukung untuk kaum difabel seakan mengalami peningkatan signifikan menjelang penyelenggaraan Asian Para Games 2018. Namun, hingga saat ini, fasilitas yang ada dinilai masih belum maksimal.
Seorang pengguna kursi roda sekaligus aktivis Jakarta Barrier Free Tourism (JBFT), Erna, mengatakan penyediaan fasilitas trotoar dan transportasi di DKI Jakarta masih jauh dari optimal. Fasilitas yang ada belum mendukung mereka untuk mandiri.
"Fasilitas untuk di jalan, transportasi, belum sempurna," kata Erna kepada Republika, Senin (3/12).
Erna mengakui saat ini telah ada fasilitas pendukung untuk difabel di moda transportasi Transjakarta. PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) sebagai penyedia jasa telah menyediakan bus low-deck yang ramah difabel. Sayangnya, terminal pendukungnya baru tersedia dari Stasiun FX Sudirman ke Stasiun Harmoni.
Sementara, tipe bus Transjakarta yang lain menuntut mereka naik ke halte yang tinggi. Fasilitas ini menyediakan jalan miring (ramp), namun dinilai masih terlalu curam. Artinya, untuk dapat menaikinya, para difabel masih harus dibantu oleh orang lain. "Kalau enggak dibantu, jeblos," kata Erna.
Erna juga menyebut belum adanya fasilitas serupa pada moda transportasi lain, misalnya kereta api listrik (KRL). Kondisi memprihatinkan juga ditemui di trotoar-trotoar Jakarta. Menurut Erna, hanya jalur Sudiman-Monumen Nasional (Monas) yang dilengkapi trotoar yang layak. Sementara, trotoar-trotoar lain masih jauh dari yang diharapkan.
Erna mencontohkan, para difabel sering kali mengalami kesulitan karena trotoar yang tidak rata. Selain itu, banyak lubang air di trotoar yang menganga dan membahayakan pengguna, terutama para difabel.
"Untuk yang tuna netra, guiding block-nya kadang-kadang menabrak tiang listrik. Jadi kasihan tuna netra kalau guiding block-nya menuju tiang listrik," kata Erna.
Anggota DPRD dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Pantas Nainggolan mengatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sudah cukup memperhatikan kepentingan kaum disabilitas. Hal ini dibuktikan dengan penyiapan sarana dan prasarana yang mereka dibutuhkan di Jakarta.
Ia menilai penyediaan fasilitas itu sudah cukup. Kendati demikian, ia mengakui fasilitas yang ada tak akan memuaskan. Pantas menilai penyediaan fasilitas di tempat-tempat yang tidak dilalui difabel justru merupakan pemborosan.
Ia menyarankan agar pemerintah melakukan jemput bola dengan menyediakan personel yang membantu difabel. Hal ini dinilai lebih solutif ketimbang membangun trotoar dengan lantai dan fasilitas khusus.
"Misalnya daripada di jalan dibuat ubin-ubin khusus untuk tuna netra semua, belum tentu juga ada yang jalan di situ. Alangkah baiknya pakai sistem jemput bola. Suatu ketika mau bergerak dari A ke B, alangkah baiknya kalau bisa membantu," kata Pantas.
Aktivis Koalisi Pejalan Kaki (APJ) Alfred Sitorus menilai hal itu mengandung sebuah kesesatan berpikir. Sebab, para difabel seharusnya diberikan akses untuk bisa mandiri dan mengakses trotoar yang ada di DKI Jakarta.
Secara umum, ia menilai penyediaan fasilitas untuk difabel di DKI Jakarta masih sangat memprihatinkan. Kondisi trotoar yang layak baru terlihat di sepanjang Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin.
"Ketika teman-teman menyatakan kondisi trotoar di Jakarta sudah membaik, itu etalasenya hanya Sudirman-Thamrin," kata Alfred.
Alfred menjelaskan, Pemprov DKI saat ini masih mengejar target untuk memenuhi penyediaan trotoar yang layak bagi difabel. Hal ini memang sudah terlaksana dengan baik di ruas Jalan Sudirman-Thamrin. Namun, apa yang sudah diimplementasikan di lokasi tersebut, seharusnya dilaksanakan juga di ruas-ruas jalan lain Ibu Kota.
Alfred juga mengkritik rencana pembangunan trotoar yang dinilai tak terkonsep dengan baik. Pada awalnya, Pemprov DKI Jakarta menargetkan 2.600 kilometer trotoar, namun sempat diturunkan menjadi hanya 1.600 kilometer.
Selain itu, pembangunan trotoar juga tidak dilakukan secara terintegrasi. Hal itu bisa ditempuh dengan pengkajian dan pembuatan rencana induk pembangunan trotoar di Jakarta.
"Kenapa kita minta itu? Agar setelah dibangun jalan di satu tempat, tidak dibangun jalan di tempat yang lain. Jadi terintegrasi saja," kata dia.