Sabtu 01 Dec 2018 05:55 WIB

Psikolog: Radikalisme Telah Memapar Generasi Milenial

Salah satu penyebab milenial terpapar radikalisme akibat penggunaan teknologi.

Arijani Lasmawati
Foto: Dok Pri
Arijani Lasmawati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog Anak dan Remaja, Arijani Lasmawati mengatakan radikalisme telah memapar generasi milenial di Indonesia, terutama dari kalangan Muslim. Salah satu penyebab milenial terpapar radikalisme akibat penggunaan teknologi.

"Hasil temuan saya dari 18 orang dari kaum milenial yang terpapar radikalisme bahkan sudah on side (pada posisi) melakukan terorisme," kata Arijani dalam diskusi 'Muslim Milenial: Menguatnya Radikalisme dan Tantangan Wawasan Kebangsaan' yang digelar Rumah Demokrasi bersama Institut Demokrasi Republikan (ID-Republikan) di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Jumat (30/11).

Arijani yang juga peneliti radikalisme, menjelaskan penelitian terhadap generasi milenial 12 hingga 18 tahun ini juga mengungkap bahwa salah satu penyebab mereka terpapar radikalisme adalah akibat penggunaan teknologi. "Kenapa mereka terpapar, karena perkembangan teknologi yang justru menyebarkan (membuat negara) sekuler," ucapnya, dalam siaran persnya.

Hasil penelitian juga menunjukkan, peran orangtua dan lingkungan cukup signifikan mempengaruhi generasi muda sehingga menjadi radikal. Selain itu, tidak adanya pengaruh positif dari lingkungan keluarga, juga menjadi penyebab. "Salah satu penyebab generasi milenial menjadi radikal ialah adanya orang yang dianggap bermakna di luar familinya. Ini terjadi karena figur di keluarganya tidak ada yang ia idolakan," tuturnya.

Adanya kelompok radikal yang tengah menaungi lingkungan pergaulan sehari-hari milenial juga turut berkontribusi membuat mereka terpapar radikalisme. Hadirnya doktrin dan bacaan bernafaskan radikalisme pun menjadi faktor, terlebih generasi muda yang kini semakin gemar membaca.  Di samping itu, faktor ekonomi juga menjadi alasan pemahaman ini dianut anak muda.

"Keterbatasan akses politik juga bisa menjadi penyebab. Contoh ada wakil rakyat yang punya konstituen tapi tidak tersampaikan aspirasi konstituennya. Makanya mereka pakai cara lain agar suara mereka bisa didengarkan. Dualisme masyarakat juga bisa jadi penyebab, misalnya ada yang kontra pada tindakan terorisme tapi tak sedikit yang pro terorisme," jelas Arijani.

Selain diskusi, pada kesempatan yang sama turut dihelat deklarasi menentang radikalisme oleh Rumah Demokrasi. Mereka mengaku siap menjadi garda depan menghadapi pihak-pihak yang menganggu Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama oleh kelompok radikal seperti terorisme maupun separatisme.

 "Kami mendukung pemerintah memelihara dan menjaga stabilitas politik sosial dan keamanan ketertiban masyarakat jelang Pemilu 2019," kata perwakilan Rumah Demokrasi, Endah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement