Rabu 28 Nov 2018 15:25 WIB

Lakalantas di DIY Timbulkan Satu Korban Tiap Hari

Peristiwa lakalantas selalu diawali pelanggaran pengguna jalan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Lalu lintas di yogyakarta.
Foto: Nico Kurnia Jati.
Lalu lintas di yogyakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- DI Yogyakarta memang bukan daerah dengan angka kecelakaan lalu lintas (lakalantas) tertinggi di Indonesia. Tapi, DIY ternyata memiliki jumlah korban meninggal akibat lakalantas yang masih cukup tinggi.

Kepala Dinas Perhubungan DIY, Sigit Sapto Raharjo mengatakan, lakalantas jadi penyebab kematian tertinggi kedua di Indonesia di antara stroke dan jantung. Karenanya, ia merasa itu merupakan masalah global.

"Bukan semata masalah transportasi, tapi sudah mencakup masalah sosial," kata Sigit, saat mengisi bincang-bincang bertema Setop Pelanggaran, Cegah Kecelakaan, Selamatkan Generasi Penerus Bangsa di MM Universitas Gadjah Mada (UGM).

Ia menerangkan, di Indonesia penanganan kecelakaan lalu lintas cukup diprioritaskan beberapa tahun terakhir. Kementerian Perhubungan mencatat 90 persen kecelakaan terjadi akibat pengemudi itu sendiri.

Setelah itu, baru ada penyebab-penyebab lain yang bersifat eksternal seperti kondisi jalan raya dan faktor-faktor lingkungan. Maka itu, ia mengingatkan, lakalantas selalu diawali pelanggaran pengguna jalan.

Untuk itu, sudah seharusnya meningkatkan pemikiran dan menyelamatkan pengguna jalan agar tidak menjadi korban sia-sia. Sebab, lakalantas tidak pernah sama sekali mengenal jenis kelamin dalam memilih korbannya.

Terlebih, jika perilaku tidak tertib lalu lintas terus dibiarkan menjadi satu budaya masyarakat. Hal itu yang dirasa membuat tren-tren kejadian kecelakaan cenderung meningkat tahun ke tahun.

Sigit menilai, perlu dilakukan penanaman budaya keselamatan berlalu lintas sejak dini, termasuk di sekolah-sekolah. Menurut Sigit, pendidikan itu di DIY sudah cukup dijadikan priortas.

Telah diterbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 54 Tahun 2011 tentang Pendidikan Etika Berlalu Lintas pada Satuan Pendidikan. Namun, ia menekankan, itu belum cukup mengurangi besarnya potensi kehilangan nyawa akibat lakalantas.

Terkait itu, ia mengaku Dishub DIY berencana melakukan lagi sosialisasi ke sekolah-sekolah. Demi mendukung itu, Sigit meminta polsek-polsek sekitar turut melakukan pemantauan langsung kepada sekolah-sekolah tersebut.

"Rencananya, kalau ada siswa-siswa yang belum cukup umur tapi membawa kendaraan diberikan peringatan, kendaraannya diambil, dan dikembalikan ke orang tuanya," ujar Sigit.

Tapi, Sigit menekankan, peraturan ini rencananya akan diberlakukan pula kepada orang-orang tua yang tidak membawa kelengkapan berkendara. Di DIY, kebiasaan itu kerap dilakukan orang-orang tua yang mengantarakan anaknya ke sekolah.

Tidak menggunakan helm menjadi satu pelanggaran yang paling banyak dilakukan. Meski begitu, ia mengaku itu baru masuk perencanaan, dan masih dirancang seperti apa peringatan-peringatan yang akan diberlakukan.

"Sehingga, ke depan ketertiban berlalu lintas bisa meningkat, sebab tiga orang per jam meninggal di Indonesia akibat lakalantas, kalau di DIY satu orang per hari meninggal akibat lakalantas," kata Sigit.

Ia mengungkapkan, di DIY sendiri jumlah kendaraan berpelat AB sudah mencapai 1.800.000, dan kendaraan non pelat AB mencapai 600 ribu. Sedangkan, jalan-jalan yang ada di DIY hanya sepanjang 1.300 kilometer.

Belum lagi, jika memasuki akhir pekan yang jumlah kendaraan melintas di DIY bisa mencapai empat juta kendaraan. Karenanya, pendidikan berlalu lintas dirasa sangat penting lebih digalakkan di DIY.

Senada, Direktur Direktorat Lalu Lintas (Dirlantas) Polda DIY, Kombes Pol Latif Usman menuturkan, banyak nyawa yang bisa diselamatkan jika perilaku pengendara bisa diubah. Belum lagi, lakalantas bisa memiskinkan.

Ia mengingatkan, kejadian lakalantas sangat berbeda dengan penyakit stroke atau penyakit jantung. Kejadian lakalantas melahirkan kebutuhan dana yang luar biasa besar untuk dapat sembuh.

"Ada tujuh kriteria pelanggaran yang mengakibatkan fatalitas korban kecelakaan seperti tidak memakai helm, penggunaan telfon genggam, mabuk, tidak manggunakan sabuk pengaman, di bawah umur, melawan arus dan kebut-kebutan," ujar Latif.

Untuk itu, ia menekankan, kebiasaan buruk itu sudah harus dirubah sejak dini. Menurut Latif, anak-anak sejak TK bahkan sudah harus tersentuh Kasatlantas, sehingga mampu menjadi pelopor tertib berlalu lintas.

Kondisi itu bisa memberikan anak-anak mendapatkan muatan yang dapat menolak dari dalam perilaku tidak tertib berlalu lintas. Selain di sekolah, Latif merasa pendidikan itu harus bisa dihadirkan pula di kampung-kampung.

"Kampung Tertib Lalu Lintas dapat mengimbangi pendidikan formal yang ada agar ada kesinambungan dan sinergi," kata Latif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement