REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Proyek Meikarta sebagai sebuah kawasan kota baru masih dianggap memberikan sisi positif dilihat dari kacamata transportasi. Anggota DPR Komisi V, Muhidin M Said, mengatakan, selain menawarkan rumah murah, Proyek Meikarta merencanakan proyek sesuai dengan tataruang dari pemerintah pusat.
“Sisi positif Meikarta ini mampu memadukan rencana tata kota milik pemerintah pusat yang kemudian disesuaikan dengan pembangunan transportasi missal seperti light rapid transit(LRT), kereta komuter, hingga kereta cepat. Dan saya kira tak banyak developer besar yang berani seperti itu. Menjual hunian dengan harga sangat terjangkau,” ujarnya melalui rilis yang dikirimkan kepada Republika.co.id (27/11).
Bagaimanapun, proyek ini patut diuji terlebih dulu sehingga bias dinikmati masyarakat yang mengidam-idamkan rumah murah untuk hunian vertikal. “Tapi pengujiannya itu juga harus dibarengi dengan pengawasan ketat pemerintah. Semua harus dipertimbangkan untuk kepentingan masyarakat yang akan membeli hunian ini nantinya,” kata Muhidin.
Sementara itu, pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno mengatakan, terlepas dari kasus hukum yang menimpa Meikarta, proyek ini juga dipandang positif mengurangi kepadatan transportasi dari dan menuju Jakarta.
Dia menyebutkan bahwa jauh sebelum proyek Meikarta diwujudkan, para pengagas proyek tidak hanya melihat keuntungan di atas kertas belaka. “Kita sudah lama tahu bahwa Lippo Group itu sudah lama memiliki bank tanah di sekitar situ (Bekasidansekitarnya). Nah, mereka melihat peluang melalui akses-akses transportasi yang akan dibangun seperti LRT, kereta cepat hingga double-double track Jakarta-Cikarang,” ucapnya.
Pembangunan proyek-proyek tersebut sejalan dengan impian masyarakat kelas menengah Jakarta untuk memiliki hunian pribadi dekat dengan akses transportasi. “Impian itu ya dekat dengan stasiun kereta, stasiun LRT yang akan selesai dibangun, bahkan dekat dengan akses kereta cepat jika itu nanti terwujud,” ungkapnya.
Selama masih berdekatan dengan kota induk Jakarta, masyarakat kelas menengah Jakarta bias dipastikan cukup tergiur dengan iming-iming ini. Apalagi berdekatan dengan lokasi kereta commuter dari stasiun Cikarang. Meikarta hanya perlu menambah akses dari stasiun atau terminal Cikarang yang bias dijangkau sekitar 30 menitan.
“Bahkan Meikarta setahu saya sudah melakukan pembicaraan dengan PT KAI dengan mem-branding KAI sebagai jualan untuk huniannya,” tuturDjoko.
Bagi KAI, branding gratis ini, dinilai menguntungkan karena banyak hal yang bias berefek dari hasil kerjasama tersebut. Itu belum lagi jika nanti proyek LRT hingga kereta cepat bias selesai tepat waktu, maka akan menambah pilihan-pilihan transportasi dari Jakarta menuju tempat hunian ini.
Tak banyak kawasan hunian yang mampu menyediakan pilihan akses transportasi bagi penghuninya. Djoko Setijowarno bahkan lebih merekomendasikan masyarakat kelas menengah Jakarta untuk memilih kota Meikarta sebagai pilihan dibandingkan dengan hunian yang bersifat kluster pada kota-kota penyangga Jakarta seperti Depok, Bogor,maupunBekasi.
“Hunian kluster itu bukan hanya tidak merencanakan soal fasilitas umum dan fasilitas sosial penghunianya. Yang lebih parah lagi, hunian seperti ini tidak merencanakan aksebilitas transportasi masyarakatnya,” kata Djoko.
Hunian kluster merupakan hunian berupa rumah tapak maupun hunian tingkat yang hanya terdiri atas sepuluh unit atau lebih. Saat ini, hunian-hunian sepeerti ini masih banyak dibangun di kota-kota penyangga seperti Depok, Bogor, Tangerang, maupun Bekasi.
“Aturan dan penegakan hukumnya (hunian kluster) di kota-kota penyangga Jakarta belum terlalu tegas. Padahal, hunian seperti ini tinggal menunggu masalah yang bernama kemacetan,” ujarnya.
Sejumlah pengamat property juga bersepakat bahwa Meikarta merupakan terobosan dalam hal menciptakan kawasan hunian baru. Seperti halnya Bumi Serpong Damai (BSD), Gading Serpong maupun pengembang ternama lain yang lebih dulu berjaya.