REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peristiwa penembakan yang terjadi di Sokobonah, Sampang, Madura, Jawa Timur, Rabu, 21 November 2018, lalu membuat heboh masyarakat.
Peristiwa yang berujung lenyapnya nyawa Subaidi akibat timah panas yang ditembakkan oleh Idris ini bermula dari perdebatan mengenai perbedaan pilihan capres masing-masing di media sosial Facebook.
Pengamat politik, Karyono Wibowo, mengatakan, kasus ini harus menjadi pelajaran bagi elite politik di Indonesia. Khususnya, mereka yang saat ini terlibat dalam kontestasi Pilpres 2019.
"Peristiwa ini harus menjadi peringatan serius bagi siapa pun yang terlibat dalam kompetisi pemilu agar tidak selalu melontarkan pernyataan yang menyudutkan lawan politiknya dengan cara-cara antagonis dan sarkastik," ujar Karyono pada Republika.co.id, Senin (26/11) malam.
Menurutnya, suasana panas yang terjadi di tingkat elite juga telah menjalar ke masyarakat. Peristiwa yang terjadi Kabupaten Sampang, Madura, itu membuktikan telah terjadi polarisasi politik yang serius di tengah masyarakat.
Karyono menambahkan, peristiwa ini bisa menjadi sinyal potensi konflik di Pilpres 2019 yang tidak boleh dianggap enteng. Karenanya, semua pihak, terutama aparat keamanan, peserta, dan penyelenggara pemilu harus mengantisipasi agar jumlah konflik menjelang pilpres tidak bertambah.
Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) ini mengatakan, peristiwa tersebut semakin menegaskan bahwa media sosial rawan menimbulkan segregasi (pengucilan) dan konflik sosial.
"Hal itu harus menjadi pembelajaran publik pengguna sosial agar menggunakan etika dan kesantunan dalam berkomunikasi di media sosial," tegasnya.
Selain itu, Karyono menyebutkan, peristiwa duel antarpendukung capres berbeda yang berujung maut tersebut merupakan potret buramnya demokrasi di Indonesia.
Menurut dia, masyarakat masih perlu belajar mengenai demokrasi. Bahwa salah satu esensi demokrasi adalah menghormati perbedaan, termasuk perbedaan pilihan politik.
"Orang yang berbeda pendapat dan berbeda pilihan dalam kontestasi elektoral jangan dianggap sebagai musuh,” tutur dia.
Bagaimanapun, kata dia, pemilu hanyalah salah satu instrumen atau sarana demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin, bukan pertarungan hidup dan mati.
Selain itu, Karyono juga menegaskan, para elite politik berkewajiban memberikan pendidikan politik, terutama kepada konstituennya serta memberikan contoh perilaku politik yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan sesuai konstitusi.
"Jika masyarakat belum bisa menerima perbedaan, sementara elite politik justru mempertajam perbedaan, apalagi dengan menggunakan isu politik dan identitas maka pemilu bisa menjadi ajang konflik," kata dia.