REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Hartifiany Praisra
Fenomena kembali ke agama sebagai jalan hidup kerap diasosiasikan dengan kaum paruh baya yang telah mapan. Kendati demikian, beberapa tahun belakangan semangat serupa juga kian tampak di kalangan pemuda-pemuda kota-kota besar di Indonesia. Wartawan-wartawati Republika mencoba menangkap geliat gerakan ini di sejumlah daerah. Berikut tulisan bagian pertama.
Suasana tenang terasa betul di Masjid Al Lathiif di Jalan Saninten, Kota Bandung, pada Sabtu (17/11). Kendati demikian, itu bukan berarti masjid tersebut sepi pengunjung. Pagi itu, digelar kajian dari Ustazah Haneen Akira, istri Ustaz Hanan Attaki, yang bertemakan "Heart Connection".
Dengan suara lembutnya, Haneen menceritakan kisah nabi dan bagaimana manusia menjaga hubungan dengan Allah. Kajian yang dibuka khusus untuk perempuan ini terisi oleh puluhan perempuan. Duduk bersama dengan syahdu mendengarkan kajian dari Haneen.
Suasana di Masjid Al Lathiif tersebut bukan barang langka lagi di Bandung. Bisa dikatakan, kota ini menjadi salah satu episentrum gerakan hijrah pemuda-pemudi belakangan. Dengan slogan #Pemudahijrah, pemuda dari berbagai kalangan dan komunitas beramai-ramai mendalami agama Islam.
Namun, jauh sebelum fenomena hijrah itu muncul, sudah ada Iskandarsyah Berian. Dia lebih dikenal dengan nama Iskandar Bule, seorang mantan preman yang akhirnya menyerahkan seluruh dunianya untuk bekal di akhirat.
Jangan tanya apa yang sudah dia kerjakan sebelum akhirnya hijrah pada 2007 silam. Kang Is, sapaannya, mendaku sudah mencicipi berbagai macam kejahatan, dari mulai pemalakan, menggunakan obat-obatan terlarang, hingga tindakan maksiat lainnya.
Republika disambut lambaian tangan dari Kang Is yang menghabiskan waktunya di salah satu ruangan di sudut Masjid Madinah, Jalan Depok Raya, Kota Bandung, pekan lalu. Terlihat beberapa tato di kaki dan tangannya, jalannya pun sudah sedikit terpincang.
Dia menggunakan sweater hitam untuk menghangatkan diri setelah siang itu Kota Bandung diguyur hujan deras. "Kejahatan pertama saya yang masuk koran itu ketika saya di kelas IV SD, saya tusuk teman saya pakai pisau tukang buah," kata Kang Is saat ditemui Republika.
Keputusan hijrahnya pun terbilang menarik. Lima pria mendatanginya di tempat tongkrongannya di Jalan Sunda, Kota Bandung. Usai membicarakan soal agama selama beberapa jam, Kang Is kemudian datang ke Masjid Madinah, beriktikaf selama tiga hari, dan akhirnya meninggalkan masa lalunya.
Ketika ditanya siapa orang yang paling bahagia ketika dia berhijrah, mukanya tetiba memerah dan senyumnya melebar. "Pengusaha hiburan malam yang paling senang saya hijrah, enggak ada yang ganggu, enggak ada yang acak-acak, berkurang tukang ngerecokin," kata dia sambil tertawa.
Meski sudah meninggalkan dunia kelam, nyatanya sosok Kang Is masih mengena di antara teman-temannya. Dia masih memiliki jasa pengamanan atau bodyguard sebagai satu-satunya pemasukannya. Dua hari dalam sepekan, dia masih tetap mengunjungi sasana olahraga di Jalan Sunda, Kota Bandung. Di sana dia sering bertemu dengan teman-teman satu profesinya.
Saat ini, Kang Is banyak menghabiskan waktu untuk beribadah di Masjid. "Hebatnya agama itu bisa membatasi sesuatu yang tidak baik, bagaimana diberikan rasa takut saat tidak melakukan hal baik. Siapa yang marah kalau saya tidak shalat? Allah tidak marah ketika kita tidak shalat. Tetapi, hasilnya nanti (di akhirat) yang akan berbeda," kata Kang Is.
Bersambung ke halaman berikutnya..