Sabtu 24 Nov 2018 04:14 WIB

Catatan atas Paus Makan Plastik

Perilaku masyarakat dalam membuang sampah sembarangan sangat memprihatinkan.

Muhammad Hafil
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*

Beberapa hari terakhir, dunia lingkungan hidup di Indonesia  sedang ramai diperbincangkan. Ini lantaran penemuan bangkai seekor paus yang terdampar di wilayah pantai perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Di dalam perutnya, ditemukan sebanyak 5,9 kg sampah plastik. Memang, belum ada vonis dari para pemangku kepentingan bahwa paus tersebut tewas karena memakan sampah plastik tersebut. Namun, sudah terbukti bahwa paus tersebut menelan sampah plastik yang ada di lautan. Artinya, lautan kita dipenuhi oleh sampah.

 Saya ingin menceritakan pengalaman liputan saya ke Wakatobi pada November 2017 lalu. Pada waktu itu, saya meliput kegiatan Gerakan Bersih Pantai dan Laut (GBPL) yang digagas oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Tujuan dari GBPL adalah memberikan edukasi dan mengajak masyarakat untuk tidak membuang sampah ke laut.

Sebelum sampai ke Wakatobi, saya berpikiran kenapa ada kegiatan GBPL di Wakatobi. Bukankah selama ini saya lihat di televisi, youtube, foto, dan banyak tulisan  bahwa Wakatobi adalah sebuah tempat wisata pantai dan lautan yang sangat indah.

Pertanyaan itu terjawab ketika saya sampai di sana. Tepatnya di pesisir pantai Desa Mola Samaturu, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Wakatobi, Ini sudah termasuk dalam kawasan Kampung Bajo yang sangat terkenal itu.

Di pesisir pantai itu, airnya bergerak tenang. Warnanya biru muda di sekitar dermaga dan jernih seperti air sungai di permukiman. Di atas air laut itu memang berdiri rumah-rumah panggung dan sebagian rumah beton. Permukiman itu bernama Kampung Bajo, tempat berdiamnya suku Bajo yang terkenal sebagai pelaut.

Namun, saking jernih dan birunya air laut itu, sampah plastik maupun logam sangat mudah terlihat. Pemandangan yang kontras dengan potensi keindahan alam air laut di Kampung Bajo.  Bahkan, ada sampah botol minuman, botol kaleng, karung, dan macam sampah lainnya yang mengumpul di sejumlah titik.

Pada saat itu, terlihat seorang warga dari balik jendela membuang bungkus mi kemasan ke bawah rumahnya yang dialiri air laut.  Ini menjadi pemandangan yang memilukan di tempat perkampungan yang memiliki sumber daya alam air yang sangat indah.

Di mana, sampah-sampah itu dikabarkan mengalir ke wilayah Taman Nasional Wakatobi. Hal ini terasa sangat merugikan mengingat Wakatobi memiliki 25 buah gugusan terumbu karang dengan keliling pantai dari pulau-pulau karang sepanjang 600 km. Lebih dari 112 jenis karang dan 93 jenis ikan hias bernilai ekonomi tinggi, serta beberapa jenis penyu dan fauna.  Wakatobi merupakan taman nasional laut yang terkenal di dunia karena kekayaan terumbu karangnya.

Saya sempat berbincang dengan Kepala Dusun Bahari, Desa Mola Samaturu, Ma Piara. Dia  menceritakan, perilaku masyarakat di Kampung Bajo, yang membuat sampah sembarang ke laut sudah berlangsung lama. Seingat dia, perilaku itu mulai terjadi pada akhir 90-an. “Dulu kalau era 80-an, jika ada orang yang sariawan, langsung menyebur saja ke laut di bawah rumahnya langsung sembuh. Tetapi sekarang, kita baru nyebur sebentar badan langsung gatal-gatal,” kata Ma Piara kepada saya waktu itu.

Menurut keterangan Ma Piara, ada beberapa hal yang menyebabkan perilaku masyarakat itu. Di antaranya, perilaku yang sudah menjadi kebiasaan, warga tidak memiliki tong sampah di depan rumahnya, dan sulitnya petugas kebersihan dari pemerintah daerah yang menjangkau perkampungan terapung itu.

Saat sesi wawancara, Bupati Wakatobi, Arhawi, tak menyanggah soal masalah sampah di Wakatobi. “Masyarakatnya terbiasa dengan pola hidup yang lama,” kata Arhawi saat itu.

Pada saat itu,  dia berjanji untuk tidak menyerah mengatasi masalah sampah di Wakatobi ini. Mengingat, 70 persen wilayah Wakatobi adalah perairan laut. Karena itulah, para pemangku kepentingan terkait, baik dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wakatobi, KKP, dan masyarakat berupaya untuk menghentikan perilaku warga yang membuang sampah ke laut.

 Namun, pemandangan miris kembali saya lihat. Sore harinya, di perairan itu memang sudah lumayan bersih setelah aksi bersih-bersih itu meski sampah-sampah yang mengendap tak semuanya terangkat. Saya melihat dengan mata kepala sendiri bahwa sebagian masyarakat di sana masih saja membuang sampah ke laut. Aksi bersih-bersih pada pagi harinya seperti tak berkesan bagi mereka.

Sekarang, saya berbaik sangka bahwa masyarakat di sana sudah tidak lagi membuang sampah ke laut. Dan, paus yang mati karena diduga memakan sampah plastik itu adalah sampah-sampah yang tidak sempat diangkat ke daratan.

Namun, kenapa paus tersebut ditemukan mati di perairan Wakatobi, saya menangkapnya bahwa ini adalah pesan dari alam agar manusia tak lagi membuang sampah sembarangan. Karena, sampah yang dibuang ke darat, terutama ke sungai, akan mengalir ke laut dan bisa mencemari laut dan menjadi ancaman bagi hewan penghuninya.

Selama 10 tahun bekerja sebagai jurnalis di Republika.co.id, saya sudah mengunjungi sejumlah daerah di Indonesia. Dan, saya mengamati, banyak sampah berserakan yang tak diurus di mana-mana. Orang membuang sampah ke kali, ke jalan,dan ke laut.

 Mengutip data dari Harian Republika, Kamis (22/11), dengan judul berita ‘Darurat Sampah Plastik’ yang dimuat di halaman pertama, 3,2 juta ton sampah plastik dibuang ke laut Indonesia per tahun.  Data ini sangat miris.

Setelah mengunjungi berbagai daerah dan mengamati perilaku membuang sampah sembarangan dari masyarakat, muncul rasa sangat benci dalam diri sendiri kepada perilaku membuang sampah sembarangan. Tak hanya sekadar benci, tapi saya juga harus berbuat. Dan, saya harus memulainya dulu dengan mendisiplinkan diri saya dulu.

Sejauh ini, saya memang tidak anti dengan penggunaan bahan plastik untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saya mendisiplinkan diri untuk sama sekali tidak membuang sampah sembarangan.

Misalnya, ketika saya sedang berada dalam kendaraan, setelah menggunakan suatu bahan yang sudah tidak terpakai, saya akan menahan tidak membuang ke jalan seperti yang suka saya lihat dari sejumlah oknum pengendara. Saya pegang dulu kemudian setelah bertemu tong sampah, saya akan membuangnya. Atau, jika tidak bertemu tong sampah di pinggir jalan, saya akan menyimpannya dulu ke dalam tas lalu nanti di rumah atau di kantor saya buang di tempat sampah. Saya selalu mendisplinkan diri saya dulu.

Setelah itu, saya juga ‘mendoktrin’ anak-anak saya sejak mereka masih balita hingga sekarang yang sudah masuk usia enam tahun bahwa sangat dilarang membuang sampah sembarangan. Sampah harus dibuang pada tempatnya. Saya sering menceritakan kepada anak-anak, bahwa sampah yang dibuang sembarangan akan mengalir ke laut dan akan dimakan oleh hewan di sana dan membuatnya mati, termasuk paus. Karena sebelum di Wakatobi ini, banyak berita yang menceritakan ditemukannya bangkai paus hingga burung yang di dalam perutnya terdapat banyak sampah plastik.

Bahkan, ketika ada berita matinya paus di Wakatobi yang ditemukan sampah di perutnya, saya kembali menceritakannya dan menunjukkan sampah-sampah di perut paus itu. Sejauh ini, saya memperhatikan mereka juga sangat anti membuang sampah sembarangan. Mereka akan menahan plastik permen atau bungkus kardus susu UHT yang sudah dimakan, jika belum menemukan tempat sampah. Mereka akan menggenggamnya terus atau memberikannya ke saya jika tak kunjung menemukan tempat sampah.

Tak banyak memang yang sudah saya lakukan untuk menanggulangi masalah sampah yang mencemari lingkungan. Tapi paling tidak, saya memiliki andil untuk tidak tergolong orang yang suka membuang sampah sembarangan.

Jujur, dalam skala besarnya, saya sangat ingin para pemangku kepentingan untuk terus mengedukasi masyarakat seluruh Indonesia untuk tidak membuang sampah sembarangan. Paling tidak, itu langkah awal pertama bagi masyarakat. Soal sampahnya, biar lah itu urusan pemerintah selaku pemiliki kewenangan yang mengelolanya dan menanganinya. Karena, bukankah setiap pemerintah daerah memiliki dinas kebersihan dan pemerintah pusat pun memiliki kementerian yang khusus menangani sampah dan lingkungan.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement