Sabtu 24 Nov 2018 04:11 WIB

Resahnya Nelayan Soal Sampah Plastik di Lautan

Sampah plastik yang sulit hancur mengakibatkan tingkat kesehatan biota laut menurun.

Rep: Lilis Sri Handayani, Bayu Adji P, Dedy Darmawan Nasution, Rizky Jaramaya, Adinda Pryanka / Red: Andri Saubani
Muhammad Lasri (73) saat mencari sampah plastik untuk dijual kembali di Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (22/11).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Muhammad Lasri (73) saat mencari sampah plastik untuk dijual kembali di Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (22/11).

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Keberadaan sampah plastik di laut selama ini sangat mengganggu aktivitas para nelayan yang sedang melaut. Selain menghambat laju kapal, sampah plastik juga mengganggu proses penjaringan ikan.

"Sampah plastik di laut sangat meresahkan nelayan," ujar Ketua Serikat Nelayan Tradisional (SNT), Kajidin, kepada Republika, Jumat (23/11).

Kajidin mengatakan, berdasarkan pengalamannya saat melaut, sampah plastik paling banyak ditemukan di perairan Teluk Jakarta, seperti Muara Angke dan Cilincing. Bahkan, akibat banyaknya sampah plastik, dia terpaksa harus mengangkat mesin kapal setiap hendak meninggalkan muara menuju tengah laut.

Posisi mesin kapal yang memang terletak di sisi kapal sangat mudah terbelit sampah. Karenanya, jika mesin tidak diangkat, maka dipastikan sampah-sampah itu akan membelit baling-baling mesin kapal hingga tidak bisa jalan.

Selain itu, lanjut Kajidin, sampah plastik juga sangat mengganggu proses penangkapan ikan. Nelayan yang biasa menangkap rajungan itu seringkali menemukan sampah yang ikut tergulung di dalam jaring saat jaring tersebut diangkat.

Kajidin menuturkan, berdasarkan pengalamannya, sampah plastik di laut mulai dirasakan keberadaannya sejak 1990-an. Sedangkan puncaknya, terjadi pada kurun waktu 2000-an dan masih berlangsung hingga saat ini.

Kajidin mengakui, di perairan Jakarta saat ini sudah ada petugas kebersihan yang membersihkan sampah-sampah di perairan tersebut. Namun, dia menilai, upaya tersebut belum berhasil sepenuhnya untuk membersihkan ‘lautan’ sampah di perairan.

"Ya baru sedikit mengurangi," tutur Kajidin.

Selain di perairan Teluk Jakarta, Kajidin mengungkapkan, keberadaan sampah plastik juga mulai dirasakan di perairan Karangsong, Kecamatan/Kabupaten Indramayu. Karangsong selama ini dikenal sebagai sentra nelayan terbesar di Kabupaten Indramayu.

Sedangkan di perairan Laut Jawa, Kajidin menemukan sampah-sampah plastik hanya saat di perbatasan air sungai dengan air laut. Di titik perbatasan yang dikenal di kalangan nelayan dengan istilah kacar itu banyak berserakan sampah plastik yang mengambang.

Nelayan Muara Angke, Iwan Carmini, yang ditemui Republika, Jumat (23/11), mengeluhkan keberadaan sampah plastik yang kian hari makin meningkat. Sampah-sampah plastik yang sulit hancur mengakibatkan tingkat kesehatan biota laut menurun. Alhasil, jangkauan tangkapan nelayan ikut menyusut.

“Setiap di ujung muara sungai jelas banyak sekali sampah. Terutama sampah plastik. Itu sampah-sampah dari darat, ketika sampai muara dia lari ke pesisir,” kata Iwan.

Soal ditemukannya seekor paus sperma di Wakatobi, baru-baru ini yang meninggal dengan isi perut terdapat banyak sampah plastik, Iwan mengaku terkejut. Menurut dia, hal itu mencerminkan bahwa sampah plastik dalam kondisi mengkhawatirkan.

Sebab, menurut Iwan, habitat paus ada di tengah laut tapi tetap bisa memakan sampah. Sementara di pesisir, Iwan mengatakan, kondisi kesehatan ikan-ikan yang ditangkap olehnya tidak seperti dulu. Sedangkan biota laut lainnya seperti kerang-kerang yang hidup di dalam lumpur pun tak sesegar sebelum sampah menyebar dimana-mana.

“Itu tidak menurunkan harga, tapi dampaknya ke mata pencaharian. Biasa kita bisa dapat 50 kilogram sehari, ini cuma 25 kilogram karena banyak yang tidak sehat,” kata dia.

Iwan mengaku, ia sudah menjadi nelayan di Muara Angke selama 20 tahun. Menurut dia, dari tahun ke tahun, sampah semakin banyak. Berbeda saat dia baru menjadi nelayan, air terlihat jernih dan sampah hampir tidak ada. Namun, kini air menjadi keruh akibat sampah plastik.

“Dulu air bagus, sekarang jadi keruh karena banyak sampah ditambah adanya reklamasi membuat sirkulasi air kurang bagus,” kata dia.

Selain Iwan, beberapa nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara, juga mengeluhkan kondisi serupa. Mulyadi, salah seorang yang tumbuh besar di lingkungan para nelayan di Muara Angke mengisahkan, keberadaan sampah plastik membuat dirinya sulit mencari ikan.

"Sampah hanya pengaruh untuk nelayan di pinggir," kata pria yang akrab disapa Della itu, Jumat (23/11).

Menurut dia, saat ini nelayan di Muara Angke hanya mencari ikan di tengah laut. Meski begitu, jika sampah semakin banyak, habitat ikan juga pasti terganggu. Akibatnya, tangkapan semakin sedikit.

Apalagi, ia menambahkan, sampah bukan satu-satunya penyebab tangkapan ikan berkurang. Lebih dari itu, faktor air yang tercemar dan faktor alam juga ikut mendominasi.

"Bukan hanya disebabkan sampah semata," ujar pria berusia 40 tahun itu.

Baca juga

Regulasi soal plastik harus diperluas

Direktur Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik Tiza Mafira menilai, inisiatif regulasi dari pemerintah untuk menanggulangi sampah plastik masih harus diperbaiki dari segi sasaran. Selama ini, peraturan yang ada hanya fokus terhadap pasar modern, sementara pasar tradisional  dan penjual sektor informal seperti warung dan kios belum terjangkau.

Tiza mengatakan, poin berikutnya yang harus diperhatikan pemerintah adalah cakupan wilayah. Saat ini, peraturan daerah masih terkonsentrasi pada kabupaten atau kota.

"Kalau di tingkat provinsi, mungkin akan lebih baik karena jangkauannya jadi lebih luas," ujarnya saat ditemui usai mengisi acara Disrupto 2018 di Plaza Indonesia, Jakarta, Jumat (23/11).

Tiza menambahkan, ada beberapa pilihan inisiatif regulasi yang sedang berjalan saat ini. Pertama, Kementerian Keuangan sedang menggodok peraturan pemerintah mengenai cukai plastik. Apabila sudah berlaku, masyarakat yang ingin menggunakan plastik harus membayar dengan jumlah tertentu.

Menurut Tiza, kebijakan tersebut akan sedikit berpengaruh terhadap penggunaan plastik. Upaya ini akan lebih efektif apabila peraturan pemerintah tersebut diterjemahkan kembali ke Peraturan Gubernur ataupun Peraturan Wali Kota.

Sejauh ini, regulasi tingkat perda sudah ada, namun masih terbatas pada penggunaan kantong plastik. Tiza menilai, peraturan tersebut mungkin bisa diperluas ke plastik lain seperti sedotan dan styrofoam.

"Pilihannya bisa mengurangi dengan penetapan cukai atau pelarangan sekaligus," tuturnya.

Tiza juga berharap, tiap pemerintah daerah dapat mengeluarkan kebijakan pembatasan penggunaan plastik. Sejauh ini, baru beberapa daerah yang menerapkan. Di antaranya Banjarmasin dan Balikpapan, sementara Bali akan menyusul pada tahun depan.

Peraturan di tingkat daerah dinilai Tiza sebagai sebuah upaya efektif. Sebab, sifat kewenangan pengelolaan sampah berada di tingkat daerah. Pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) hanya mengeluarkan pedoman atau petunjuk teknis. Misalnya, melalui kebijakan strategi nasional yang bisa diterjemahkan menjadi kebijakan strategi daerah.

Tiza berpendapat, upaya paling efektif dalam mengurangi sampah plastik di Indonesia adalah dengan mengurangi produksi dan konsumsi. Pemerintah dapat masuk dalam upaya ini, misalnya dengan mengatur agar barang-barang yang diproduksi mudah didaur ulang.

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah saat ini sedang menyusun peraturan penggunaan plastik. Hal ini bertujuan untuk mengurangi sampah plastik.

"Sudah ada rencana untuk tindakannya, termasuk juga insentif dan disinsentif pemakaian plastik," ujar Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden, Jumat (23/11).

Selain itu, pemerintah juga sedang membahas sanksi bagi setiap pelanggaran penggunaan plastik. Dengan demikian, diharapkan limbah plastik di Indonesia bisa berkurang dan tidak menyebabkan kerusakan ekosistem.

"Sedang dibahas apa sanksinya, bagaimana tahapannya, teknologi apa yang dipakai, sedang dibahas pemerintah untuk mengurangi limbah sampah plastik itu," kata Jusuf Kalla.

Jusuf Kalla menyampaikan keprihatinannya atas kasus matinya ikan paus spermaberukuran 9,6 meter di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Di dalam tubuh ikan paus tersebut ditemukan sekitar 5,9 kilogram sampah plastik yang diduga sebagai penyebab kematiannya.

Jusuf Kalla mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman telah lama mensosialisasikan pembersihan laut dari sampah plastik. Namun, hingga saat ini sampah plastik masih kerap ditemukan di laut.

"Sudah sering khususnya Pak Luhut berbicara karena Kementerian Maritim, jadi tugasnya itu bicara tentang perlunya pembersihan pantai-pantai dari kotoran-kotoran khususnya plastik," ujar Jusuf Kalla.

photo
Bahaya Sedotan Plastik

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement