Kamis 22 Nov 2018 00:10 WIB

Palestina-Israel, Mungkinkah Damai?

Kelompok garis keras menguasai pemerintahan Netanyahu.

Teguh Firmansyah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*

Israel dan Hamas sepakat untuk melakukan gencatan senjata beberapa waktu lalu menyusul meningkatnya ketegangan di Jalur Gaza. Namun gencatan ini bukanlah kunci untuk menyelesaikan konflik sesungguhnya.

Akar permasalahan yang menyangkut wilayah pendudukan, persoalan perbatasan, blokade dan Yerusalem belum juga terselesaikan.  Artinya, perang hebat seperti pada 2014 lalu yang menewaskan lebih dari 2.000 orang warga Palestina, sangat mungkin terjadi. 

Bahkan tidak menuntut kemungkinkan perang yang jauh lebih besar dengan melibatkan banyak negara bisa pecah dari sana. Tapi hal itu, tentu tak terlepas dari situasi geopolitik di kawasan.

Bagi sejumlah warga Israel, permusuhan dengan Palestina adalah nyata. Mereka sangat bersikeras membangun negara Yahudi, menguasai Al-Aqsa dan menduduki tanah Palestina dan menyingkirkan kelompok semacam Hamas.

Karena itu, kelompok Israel dalam golongan ini sangat mendukung perang dan menolak gencatan senjata. Mereka yang masuk kelompok ini salah satunya adalah para pendukung Menhan Lieberman dari Partai Yisrael Beiteinu (Israel Rumah Kita).

Lieberman baru-baru ini menentang kesepakatan PM Benjamin Netanyahu dengan Hamas soal gencatan senjata di Gaza. Pria kelahiran Moldova itu pun memilih mundur dari jabatannya.

Ini bukan pertama kali menolak gencatan senjata dengan Palestina. Pada 2004, mantan politikus Partai Likud itu dipecat setelah menolak rencana Perdana Menteri Ariel Sharon untuk mundur dari Jalur Gaza. 

Ia mendukung pembunuhan pemimpin gerakan Hamas di Gaza, termasuk hukuman mati bagi para tokoh Arab di Knesset (parlemen Israel) yang bertemu dengan petinggi Hamas atau Hizbullah.

Sebetulnya selain Lieberman, dalam tubuh kabinet Netanyahu ada tokoh partai garis keras lain yang sangat mendukung pembentukan negara Yahudi.  Ia adalah Naftali Bennet yang menjabat sebagai menteri pendidikan. Bennet menjadi 'kunci' dalam pemerintahan Netanyahu saat ini pascamundurnya Lieberman.

Jika Bennet mengikuti jejak Lieberman mundur, maka koalisi garis kanan akan pecah dan harus dilakukan pemilihan dini.  Sejauh ini, Bennet masih mempertahankan posisinya dengan Netanyahu.

Kendati begitu, Bennet yang berasal dari Jewish Home Party menginginkan jabatan menteri pertahanan atau ia mengancam akan mundur. Pada Oktober lalu, Bennet mengatakan akan memerintahkan menembak mati warga Gaza yang masuk ke Israel atau melepaskan balon 'api' jika ia menjadi menteri pertahanan. 

Lieberman dan Bennet adalah sekian dari politikus berhaluan kanan yang mengelilingi Netanyahu.  Kelompok garis keras ini telah berhasil mendorong beragam kebijakan yang merugikan Palestina dan bertentangan dengan kesepakatan internasional.

Sebut saja soal Yerusalem. Netanyahu dan kelompok garis kerasnya berhasil memaksa pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Trump pun memindahkan kedutaan AS di Tel Aviv ke Yerusalem, sesuatu yang tabu dan tak pernah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin AS sebelumnya. Pengakuan tersebut telah menuai kecaman internasional dan memicu ketegangan di Gaza, maupun Tepi Barat. 

Selain soal Yerusalem, kabinet Netanyahu juga telah mengeluarkan UU Tanah Yahudi.  Undang-Undang Tanah Yahudi ini telah disahkan oleh Parlemen Israel pada 19 Juli 2018.

Undang-Undang ini menuai kecaman dari internasional, termasuk Indonesia. Undang-undang itu menganggap tanah Israel sebagai tanah air historis dari orang-orang Yahudi dan hak untuk melaksanakan penentuan nasib sendiri nasional di negara Israel adalah unik untuk orang-orang Yahudi.

Dalam UU juga terdapat istilah 'Negara Bangsa Yahudi'. Undang-undang itu menyatakan, bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi dan menurunkan peringkat bahasa Arab hanya menjadi "status khusus".  Belum lagi persoalan pendudukan tanah Palestina oleh pemukim ilegal Israel yang terus dibiarkan dan dilegalisasi oleh rezim Zionis.

Dar fakta-fakta tersebut, benih-benih konflik antara Israel-Hamas terlihat kian tersemai subur. Benih-benih itu berkembang dengan berkuasanya kelompok garis keras di dalam otoritas Zionis.

Pada satu waktu, beragam persoalan ini akan menjadi puncak gunung es dan bisa 'meledak' seperti perang 22 hari pada 2008, perang delapan hari pada 2012 atau perang selama tujuh pekan yang menewaskan ribuan orang jika tak diantisipasi.  Lantas ,mungkinkan Palestina-Israel berdamai?

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement