REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Mataram (Unram) Widodo Dwi Putro menilai kasus yang menjerat Baiq Nuril menjadi autokritik yang baik dalam pembelajaran penegakan hukum di Tanah Air. Sebagai dosen, kata Widodo, perlu ada otokritik untuk menunjukan ada yang keliru dalam penegakan hukum.
Karena itu, ia mengatakan, tidak menutup kemungkinan kasus Nuril merupakan kekeliruan dalam pembelajaran hukum. “Artinya, sebelum mahasiswa menjadi hakim, jaksa, pengacara, seharusnya menjadi manusia terlebih dahulu sehingga mereka sensitif terhadap persoalan hukum yang menimpa rakyat kecil, kaum perempuan dan anak-anak," ujar Widodo di Unram, NTB, Rabu (21/11).
Ia menegaskan, hukum seharusnya untuk manusia, bukan untuk hukum itu sendiri. Ia mengibaratkan kasus Nuril dengan sebuah topi yang tidak cukup dikenakan lantaran kepala seseorang lebih besar dari ukuran topi itu sendiri.
"Ibarat topi yang tidak cukup, malah kepalanya yang diperkeceil seperti kasus Nuril, padahal seharusnya ukuran topinya yang diperbesar," lanjutnya.
Ia menjelaskan, para penegak hukum seharusnya lebih sensitif pada persoalan yang menimpa rakyat kecil dan kaum perempuan. Nuril, dalam pandangannya, seorang korban pelecehan seksual yang justru menjadi pesakitan lantaran terancam hukuman enam bulan penjara dan denda sebesar Rp 500 juta.
"Saya melihat kasus ini, kasus patahnya palu keadilan, kasus kematian hukum dan ini merupakan otokritik saya sebagai dosen hukum untuk mengevaluasi cara pembelajaran hukum," kata Widodo.
Mahasiswa hukum, kata dia, tidak hanya cukup menjadi hakim, pengacara, dan jaksa pada masa mendatang, melainkan juga harus sensitif, terutama pada kasus yang menimpa rakyat kecil.