Senin 19 Nov 2018 08:52 WIB

Kinerja Ekspor, Industri, dan Investasi

Neraca perdagangan migas masih melanjutkan penyakit “latennya”.

Sunarsip
Foto: istimewa
Sunarsip

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Sunarsip

Pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) memublikasikan kinerja neraca perdagangan bulan Oktober 2018. Hasilnya, neraca perdagangan kita pada Oktober 2018 mengalami defisit sebesar 1,82 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Defisit tersebut bersumber dari neraca perdagangan migas dan nonmigas. Dengan perkembangan tersebut, secara kumulatif Januari-Oktober 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit 5,51 miliar dolar AS.

Sebagaimana telah saya sampaikan di harian ini pada bulan lalu (22 Oktober), melemahnya kinerja neraca perdagangan Indonesia tersebut lebih banyak disebabkan oleh tekanan impor. Pertumbuhan impor jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekspor. Kebijakan pemerintah untuk membatasi impor yang dikeluarkan pada Agustus lalu, sepertinya tidak cukup efektif menahan laju impor. Terbukti, pertumbuhan impor masih relatif tinggi.

Dari sisi neraca perdagangan nonmigas, misalnya, pada September 2018 mengalami surplus 1,32 miliar dolar AS. Namun, pada Oktober 2018, neraca perdagangan nonmigas justru defisit sebesar 0,39 miliar dolar AS. Defisit ini dipengaruhi kenaikan impor nomigas yang melebihi peningkatan ekspor nonmigas. Peningkatan impor nonmigas, terutama berupa bahan baku/penolong dan barang modal. Surplus neraca perdagangan nonmigas secara kumulatif Januari-Oktober 2018 menurun menjadi 5,22 miliar dolar AS.

Sementara itu, neraca perdagangan migas masih melanjutkan penyakit “latennya” berupa berlanjutnya defisit yang terjadi selama 2018. Kenaikan defisit neraca perdagangan migas, terutama dipengaruhi impor migas yang meningkat. Sementara itu, ekspor migas meningkat lebih terbatas didorong oleh ekspor gas yang meningkat di tengah ekspor minyak mentah dan hasil minyak yang menurun. Neraca perdagangan migas secara kumulatif Januari-Oktober 2018 mencatat defisit sebesar 10,74 miliar dolar AS.

Kinerja neraca perdagangan, khususnya nonmigas, merupakan refleksi dari kinerja ekonomi dari sisi lapangan usaha (sektor ekonomi). Meskipun tidak seluruh produksi dari kegiatan ekonomi di Indonesia hasilnya diekspor, kinerja ekspor (khususnya) nonmigas dapat menggambarkan bagaimana kinerja sektoral ekonomi kita. Sehubungan dengan melemahnya kinerja neraca perdagangan, khususnya nonmigas, tentunya menjadi pertanyaan bila dikaitkan dengan kinerja sektoral ekonomi kita.

Pertama, mengapa pertumbuhan ekspor nonmigas rendah? Bagaimana kinerja sektor ekonomi yang menghasilkan produk ekspor? Kedua, mengapa impor masih meningkat pesat sekalipun telah ada upaya menahan lajunya? Bagaimana dengan sektor industri kita yang menghasilkan barang-barang untuk ekspor maupun untuk menggantikan impor (bahan baku/penolong dan barang modal? Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut mari kita lihat data-data kinerja ekonomi kita saat ini.

Pada awal bulan ini, BPS telah merilis data kinerja ekonomi Indonesia sampai dengan triwulan III 2018. Hasilnya, sampai dengan triwulan III 2018 ekonomi kita tumbuh 5,17 persen (cumulative to cumulative/ctc). Pertumbuhan ekonomi ini sebenarnya cukup tinggi. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak diikuti pertumbuhan yang tinggi pula pada sektor ekonomi yang menghasilkan produk ekspor dan yang menghasilkan produk yang dibutuhkan untuk menggantikan barang impor.

Sektor pertanian, misalnya, selama 2018 hanya tumbuh 3,91 persen (ctc). Padahal, sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan, merupakan salah satu penyumbang eskpor nonmigas terbesar. Sektor pertambangan, yang produknya sebagian besar diekspor pertumbuhannya juga masih rendah, sebesar 2,05 persen (ctc).

Selama 2018, ekspor dari kedua sektor ekonomi ini (pertanian dan pertambangan) memang tumbuh positif. Namun, pertumbuhannya relatif lebih banyak disebabkan oleh faktor kenaikan harga komoditas daripada oleh kenaikan volume ekspornya.

Sektor industri pengolahan yang menghasilkan produk untuk ekspor maupun untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, pertumbuhannya juga kurang mengesankan. Industri pengolahan hanya tumbuh 4,24 persen (ctc).

Rendahnya pertumbuhan industri pengolahan ini disayangkan mengingat sektor ini memiliki kontribusi terbesar dalam perekonomian kita, yaitu sekitar 20 persen terhadap PDB. Selain itu, industri pengolahan juga menjadi salah satu penyumbang lapangan kerja terbesar. Dengan kata lain, lemahnya kinerja pertumbuhan sektor industri merupakan kerugian besar bagi perekonomian nasional.

Beberapa pihak berpandangan bahwa ekonomi kita sedang bertransformasi dari sektor primer ke sekunder (terutama industri pengolahan) dan kini sedang menuju sektor tersier (jasa-jasa). Sektor tersier saat ini pangsanya terhadap PDB memang meningkat, tapi tidak terlalu signifikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement