Sabtu 17 Nov 2018 21:07 WIB

Warga Malang Diajak Perangi Laju Resistensi Antimikroba

Masyarakat juga perlu bahu-membahu mengendalikan infeksi baru.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Esthi Maharani
Foto bersama perwakilan kementerian dan organisasi internasional usai acara seminar One Health dengan tema Kolaborasi Pemangku Kepentingan One Health, Aksi Terhadap Resistensi Antimikroba di Hotel Pullman Jakarta, Kamis (16/3).
Foto: Republika/Melisa Riska Putri
Foto bersama perwakilan kementerian dan organisasi internasional usai acara seminar One Health dengan tema Kolaborasi Pemangku Kepentingan One Health, Aksi Terhadap Resistensi Antimikroba di Hotel Pullman Jakarta, Kamis (16/3).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kementerian Pertanian, drh Syamsul Ma'arif mengajak, warga Malang untuk memerangi laju resistensi antimikroba. Tak hanya itu, masyarakat juga perlu bahu-membahu mengendalikan infeksi baru.

"Terutama bagi adik-adik kita yang akan lulus dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Kesehatan Masyarakat serta fakultas teknis lainnya agar bisa menjadi agen perubahan untuk mencapai kesehatan masyarakat, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan yang optimal,” ujar Syamsul di Universitas Brawijaya (UB) Malang, Sabtu (17/11).

Menurut Syamsul, sebuah laporan global review yang dirilis pada 2016 menggambarkan model simulasi. Laporan mendeskripsikan di mana kejadian resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor satu di dunia pada 2050. Di tahun itu, diperkirakan kematian mencapai 10 juta orang per tahun dan angka tertinggi terjadi di Asia.

”Karena itu, kita semua berkumpul disini. Mengajak untuk sama-sama memerangi," tegasnya.

Di kesempatan serupa, Dokter Spesialis Anak yang juga mewakili Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) Yulianto Santoso mengaku, sering menghadapi pasien yang tidak bisa disembuhkan hingga meninggal dunia. Hal ini karena obat-obatan tidak lagi mempan membunuh kuman penyakit. Perilaku petugas kesehatan yang mudah memberikan antibiotik, termasuk kemudahan masyarakat untuk membelinya dinilai sebagai pemicu terjadinya resistensi antimikroba.

Pihaknya juga pernah melakukan suvei yang hasilnya menyatakan penggunaan antibiotik untuk batuk, pilek dan diare tetap tinggi. Dalam hal ini hasilnya sekitar 60 persen dari tahun ke tahub. "Ke puskesmas orang sakit karena batuk pilek, juga dikasih antibiotik. Kalau tidak dikendalikan, 10 juta jiwa akan meninggal setiap tahun pada 2050. Itu berarti setiap satu menit ada 19 kematian akibat infeksi bakteri yang tidak bisa disembukan" jelasnya.

Sementara itu Perwakilan Kemenko-PMK, drh Rama Fauzi menyebutkan, para pakar kesehatan hewan dunia telah mengelompokan pathogen (kuman berbahaya penyebab penyakit) dari tiga area. Area-areanya, yakni 1.415 pathogen pada manusia dan 372 pathogen di karnivora domestik (anjing,kuncing, dsb). Kemudian terdapat pula 616 pathogen penyakit pada ternak.

“Dalam dekade terakhir memang wabah akibat virus menjadi sorotan dunia seperti virus flu H1N1, Ebola, Mers-CoV dan Zika. Namun ternyata perubahan karakter pathogen juga sedang terjadi pada bakteri, yang secara terus menerus bertambah kebal dari berbagai golongan antibiotik,” jelas Rama melalui keterang tertulis yang diterima Republika, Sabtu (17/11).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement