Jumat 16 Nov 2018 13:58 WIB

Hasto: Wajar Demokrat Bebaskan Kadernya di Pilres 2019

ketika Gerindra naik, Demokrat melorot. Maka sikap Demokrat menjadi wajar

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Esthi Maharani
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto bersama Sekjen Partai Koalisi Indonesia Kerja (KIK) Jokowi-Maruf di Media Center, Jalan Cemara, Menteng, Jakarta, Ahad (19/8).
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto bersama Sekjen Partai Koalisi Indonesia Kerja (KIK) Jokowi-Maruf di Media Center, Jalan Cemara, Menteng, Jakarta, Ahad (19/8).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-KH Maruf Amin, Hasto Kristiyanto menganggap, kebijakan Partai Demokrat yang membebaskan kadernya untuk memilih calon presiden sebagai kewajaran. Menurutnya, semakin banyaknya kader Demokrat yang mendukung Jokowi tiada lain karena sosoknya yang merangkul rakyat. Meskipun pengurus pusat Demokrat sudah mendeklarasikan mendukung pasangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.

“Itu adalah sebuah sikap yang wajar, karena melihat bagaimana kepemimpinan Pak Jokowi yang merangkul dan menghargai rakyat. Sehingga logis jika kemudian semakin banyak yang terpikat, termasuk kader Demokrat,” ujar Hasto di sela konsolidasi dengan Tim Kampanye Daerah (TKD) kabupaten/kota se-Jatim, Jumat (16/11).

Hasto berpendapat, jika kader Demokrat ikut mengampanyekan Prabowo Subianto, maka yang terangkat adalah Partai Gerindra. Padahal, kini Demokrat juga sedang berjuang untuk bisa lolos parliamentary threshold.

“Tadi ada bahasa dari kawan-kawan, istilahnya di sana madesu, masa depan suram. Karena di survei juga terlihat, ketika Gerindra naik, Demokrat melorot. Maka sikap Demokrat wajar, mungkin merasa masa depan suram di kubu Pak Prabowo dan Pak Sandiaga,” ujar Hasto.

Hasto mengungkapkan alasan lain para anggota koalisi Prabowo-Sandi yang mengalihkan dukungannya ke kubu Jokowi-Maruf. Menurutnya itu bisa jadi karen kurang nyaman dengan narasi-narasi politik yang membangun pesimisme rakyat. Dimana, jika ikut mendukung narasi kampanye yang banyak menimbulkan blunder, partai koalisi takut bakal terkena dampak penurunan elektabilitas.

“Kampanye baru berjalan, mereka sudah tiga kali minta maaf. Kasus hoax Ratna Sarumpaet ketika bangsa kita sedang berduka karena bencana Sulteng, menghina rakyat sendiri dengan kasus wajah Boyolali, lalu tak ada etika ketika berziarah ke makam tokoh besar Nadhlatul Ulama. Itulah ciri kepemimpinan yang grusa-grusu, penuh pencitraan sehingga ketika ciri aslinya muncul, malah blunder,” kata Hasto.

Menurut Hasto, kegemaran menebar kebencian dan kebohongan seolah telah menjadi ciri khas kubu kompetitor. Pada 2014, tabloid Obor Rakyat yang memfitnah Jokowi juga disebarkan kubu yang sama dengan yang sekarang giat menggencarkan hoaks.

Ketua TKD Jatim Irjen Pol (Purn) Machfud Arifin menambahkan, berbeda dengan kubu lawan, narasi politik yang dibangun Jokowi adalah dengan merangkul dan membangun optimisme rakyat.

“Kita tekankan bahwa ini bukan perjuangan untuk orang per orang. Bukan untuk Pak Jokowi. Tapi untuk masa depan Indonesia Raya. Maka kita semua merangkul, membangun optimisme untuk giat membangun bangsa, bukan menakut-nakuti rakyat,” kata mantan Kapolda Jatim itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement