Rabu 14 Nov 2018 02:11 WIB

Mengawinkan Kembali Agama dan Budaya

Sunan Kudus mengakulturasi budaya dan agama saat berdakwah

Helmi Hidayat, Dosen UIN Syarif  Hidayatullah Jakarta
Foto: Dokumen pribadi
Helmi Hidayat, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Helmi Hidayat*

Ada keasyikan tersendiri membayangkan Sunan Kudus alias Sayyid Jafar Shadiq Azmatkhan mendakwahkan Islam di Kudus, Jawa Tengah, 500 tahun silam. Berwajah Arab, ia menyiarkan Islam di tengah masyarakat etnis Jawa yang mayoritas beragama Hindu.

Dengan penguasaan etnografi yang kuat, ia kuasai semua kesenian lokal di sana, ia rangkul adat istiadat setempat, lalu pelan-pelan ia tapaki jalur kultural mendakwahkan Islam. Hasilnya sungguh menakjubkan: bukan hanya Islam tersebar dengan damai di Kudus, tapi juga sebuah masjid penuh ornamen Hinduisme dan Budhisme serta menara bercorak Hindu-China-Islam berdiri gagah di sana.

Sunan Kudus juga menunjukkan penguasaan ilmu fiqih, tasawuf, dan ilmu dakwah yang tinggi. Alih-alih melarang atau merusak tatanan adat yang telah berlangsung ratusan tahun di Kudus, ulama asal Palestina ini justru melakukan akulturasi budaya dan agama dengan berani. Misalnya dia melarang warga Muslim Kudus menyembelih sapi bahkan untuk kepentingan Idul Adha sekalipun, demi menjaga hati warga Tajug, nama asli Kudus, yang masih menganut Hindu.

Sapi adalah hewan suci kendaraan Dewa Krisna menurut kepercayaan Hindu. Sunan Kudus sendiri bahkan memelihara hewan kesayangan bernama "Sapi Gumarang" yang selalu ia ikat di halaman masjid ketika berceramah tentang Surah Al-Baqarah (sapi betina).

Kini, setelah 500 tahun berlalu, kedamaian beragama sekaligus berbudaya yang pernah dirintis Sunan Kudus dan para wali lainnya di tanah Jawa tengah terancam kehancuran. Sebagian umat beragama di Indonesia, terutama Islam, saat ini cenderung gamang bahkan gagal memahami dan membangun toleransi antarumat beragama dan antarumat berbudaya sebagaimana Sunan Kudus pernah melakukannya. 

photo
Masjid Menara Kudus

 

Sunan Kudus melakukan akulturasi budaya dan agama dengan berani. Misalnya melarang Muslim Kudus menyembelih sapi demi menjaga hati umat Hindu di Kudus.

Contoh paling hangat terjadi ketika sebagian anak bangsa melarang lalu merusak properti milik sebagian anak bangsa lainnya yang hendak menyelenggarakan tradisi  "Sadakah Laut" di Pantai Baru, Bantul, Yogyakarta, Jumat (2/11). Itu dilakukan hanya karena tafsir kedua belah pihak tentang Tuhan dan ajaran agama saling berbeda satu dengan yang lain.

Jika dipotret dari jarak jauh, akan terlihat di satu sisi, sebagian anak bangsa yang bertahlil, berzikir, lalu melarung lima tumpengan ke tengah laut itu yakin bahwa hanya dengan cara itu, Zat Maha Suci di langit yang mereka sembah dan menguasai jagad raya ini akan melindungi Indonesia dari terjangan tsunami dan bencana alam lainnya. Mereka yakin, alam harus dirangkul lewat keikhlasan berkorban dan bersesaji agar harmoni antara umat manusia dan alam sekitarnya terwujud.

 

Sementara itu, di sisi lain, sebagian anak bangsa lainnya juga yakin tsunami dan semua bencana alam yang ada, justru akan menerjang Indonesia akibat mereka melarung sedakah dan sesajian ke laut. Ada dua keyakinan yang sama-sama punya tujuan positif saling berbenturan hanya karena perbedaan tafsir di kepala.

Jika rasa curiga ini terus terjadi dan dibiarkan mengkristal di antara anak bangsa, negeri ini sesungguhnya tengah bergerak pelan tapi pasti menuju ambang perang saudara seperti yang sekarang terjadi di Suriah, Irak, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya. Bangsa Indonesia akan sama gagalnya dengan mereka yang bertikai itu dalam mengelola modal spiritual, modal budaya, dan modal sosial yang selama ini mereka nikmati dan dengan susah payah pernah dirintis dan dibangun para waliyullah ratusan tahun lalu.

Karena itu, ketika energi bangsa terkuras memikirkan benturan agama dan budaya yang tak dikehendaki ini, sarasehan budayawan dan agamawan di Bantul, Yogyakarta, yang berlangsung dua hari sejak Jumat (2/11) dan diprakarsai Kementerian Agama, layak mendapat apresiasi tinggi. Seribu jempol layak dinisbatkan kepada Kemenag RI yang dengan arif dan berani mengumpulkan para agamawan dari berbagai agama, budayawan, juga cendekiawan di satu tempat untuk berdebat alot selama dua hari membahas "Reaktualisasi Relasi Agama dan Budaya di Indonesia". Pemerintah sangat antisipatif dalam mengakomodasi pikiran-pikiran genial kedua kubu, yang hasilnya berguna untuk menghadang kristalisasi perbedaan yang bisa mengerucut ke arah permusuhan antarpihak.

Benar saja, kedua pihak saling berdamai lalu menandatangani "Permufakatan Yogyakarta". Salah satu butirnya menyatakan: "Kalangan agamawan dan budayawan harus memahami dan mengatasi disrupsi yang terjadi dalam diri mereka sendiri karena disrupsi itu bisa mengganggu bahkan merusak iman, kenyataan sosial, juga gerak kultural di hadapan mereka."

Kata "disrupsi sosial" kali pertama diungkapkan di forum itu oleh Prof Amin Abdullah, cendekiawan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tapi, ia tak menyebut secara rinci sebab-sebab dan akar disrupsi sosial itu. Para cendekiawan dan agamawan lain pun, misalnya Prof Jamhari, Prof John Titaley, Prof Oman Fathurrahman, KH Agus Sunyoto, Romo Aloysius Budi Purnomo, Banthe Sri Pannavaro, Pandita Mpu Jaya Prema alias Putu Setia dan beberapa agamawan lainnya juga seperti terpukau dengan diksi "disrupsi sosial" tadi.

Sikap yang sama juga ditunjukkan kalangan budayawan yang hadir, antara lain Sudjiwo Agus Hadi alias Sudjiwo Tedjo, Acep Zamzam Noor, Allisa Abdurrahman Wahid, Ridwan Saidi, Nasirun, Fatin Hamama, Agus Noor, Radhar Panca Dahana, dan beberapa lainnya.

Padahal, makna dari diksi "disrupsi sosial" ini harus diperjelas dan terutama harus dicari apa penyebabnya?

Mengapa "disrupsi sosial" yang sama tidak terjadi ratusan tahun lalu ketika Sunan Kudus dan para wali lain melakukan akulturasi budaya dalam dakwah-dakwah mereka, bahkan bentuknya lebih ekstrem dibanding sekadar melarung sesajian ke tengah laut?

Saya bersyukur bisa hadir selama dua hari di tengah sarasehan para agamawan dan budayawan itu atas undangan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin. Dari situ saya bisa menyimpulkan makna "disrupsi sosial" kurang tergali di forum itu karena para agamawan dan budayawan yang diundang adalah mereka yang, untuk ukuran tertentu, bisa disebut telah bertemu di satu paradigma pemikiran dan sikap yang sama.

Mereka cenderung seragam dalam pikiran dan sikap. Tak ada, misalnya, satu agamawan pun di forum itu menjelaskan mengapa atas nama agama tradisi dan ritus "Sadakah Laut" di Pantai Baru, Bantul, yang sudah berlangsung ratusan tahun, kini dilarang oleh sekelompok orang.

Tentu saja para agamawan dan cendekiawan yang hadir di sana tidak tahu apa motif yang pasti dari mereka yang melarang "Sadakah Laut". Mereka tak hadir di forum sarasehan ini, sementara membaca isi hati bukanlah kebiasaan para cendekiawan yang terbiasa dengan postulat, aksioma, verifikasi, juga falsifikasi.

Hanya saja, dari sejumlah diskusi dengan orang-orang yang setuju tradisi "Sadakah Laut" dilarang, saya jadi tahu argumentasi paling laten dan kerap mereka ajukan adalah tradisi itu identik dengan kemusyrikan dan tak ada presedennya di masa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam. Menurut mereka, jika kemusyrikan itu terus dilakukan tanpa ada satu pun umat Islam berani melarang, akibat bid’ah itu Allah akan marah kepada bangsa ini secara nasional.

Jika benar itulah dalih mereka melarang tradisi "Sadakah Laut", maka menjadi agak jelaslah biang dari "disrupsi sosial" yang diungkap Amin Abdullah tadi. Ternyata, kecenderungan merasa mampu membaca isi hati orang lalu merasa berhak menjatuhkan vonis atas tindakan orang lain berdasarkan "kemampuan" membaca hati orang lain itulah yang menjadi pangkal "disrupsi sosial" tadi.

photo
Sejumlah nelayan melarung sesaji saat mengikuti prosesi sedekah laut di Pantai Depok, Bantul, Yogyakarta.

Dari mana mereka tahu niat orang-orang yang hendak melakukan "Sadakah Laut" itu adalah melakukan kemusyrikan? Kecenderungan sebagian orang mengaggap musyrik atau kafir orang-orang yang berbeda tafsir dengan mereka, lalu enggan melakukan shalat jenazah atas orang yang kadung dituding kafir itu. Padahal mereka datang dari agama yang sama, sudah menggejala di tengah masyarakat Indonesia. Inilah antara lain salah satu sebab timbulnya "disrupsi sosial" yang disinggung para agamawan dan budayawan tadi.

Di masa depan, Kementerian Agama RI harus lebih rajin lagi mempertemukan kaum budayawan dan agamawan ini, terutama dari kalangan mereka yang rajin menuding orang lain musyrik dan kafir hanya karena perbedaan tafsir. Di forum ini nanti bisa dibahas, benarkah Islam melarang umatnya menjalin harmoni dengan alam seperti yang dilakukan penggiat "Sadakah Laut"? Jika benar, mengapa di akhir hayatnya ketika sakit, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam memerintahkan para sahabatnya mengumpulkan air dari tujuh sumur berbeda untuk sekadar menurunkan panas badan akibat demam yang ia derita? Mengapa harus tujuh sumur berbeda dan tidak cukup dengan berdoa saja? Bukankah jika mau, Nabi cukup berdoa saja pada Allah lalu sembuhlah sakitnya?

Jika bid’ah adalah argumentasi lain yang mereka gunakan untuk melakukan "disrupsi sosial", mengapa dulu tak ada yang protes pada Sunan Kudus ketika ia mendirikan menara kultural bernuansa Hindu-China-Islam? Musyrikkah wali ini ketika melindungi keyakinan sebagian warga Kudus tentang kesucian sapi?

Sunan Kudus adalah salah satu wali yang saya kagumi. Ia wafat ketika sujud dalam Shalat Subuh di tahun 1550 Masehi.

*) Dosen UIN Syarif  Hidayatullah Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement