REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pariwisata Republik Indonesia menargetkan 3,8 juta wisatawan Muslim asing pada 2018. Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Halal, Riyanto Sofyan menyampaikan pemerintah berupaya mencapai target meski sedikit sulit karena Lombok masih dalam masa pemulihan pascabencana.
"Pada 2018 kami targetkan sekitar 3,8 juta orang melalui sektor wisata halal, untuk 2019 kita targetkan sekitar lima juta orang," katanya.
Riyanto tidak menyebutkan angka realisasi terbaru namun menurutnya jumlah terakhir masuk sudah sesuai jalur. Data periode Januari hingga Agustus 2018 mencatat jumlah pelancong Muslim mancanegara ke Indonesia mencapai 1.849.176 orang dari total 10.577.289 orang di seluruh dunia.
Kedatangan wisatawan Muslim mancanegara ke Indonesia pada 2017 tercatat 2.789.552 orang dari total wisatawan Muslim sebanyak 14.039.799 orang dari seluruh dunia. Riyanto mengatakan jumlah peningkatan per tahunnya mencapai 15 persen.
Pada 2016 wisatawan Muslim masuk Indonesia mencapai 1,9 juta orang, pada 2017 sekitar 2,8 juta orang. Jumlah tersebut masih kalah dari capaian Singapura sebanyak 4,5 juta orang. Secara global, wisatawan Muslim ditargetkan sekitar 17 juta orang namun baru tercapai sesuai tren yakni 15 juta orang.
"Kita upayakan untuk mencapai target, namun bagaimana pun jumlahnya drop karena Lombok masih pemulihan, Lombok itu paling signifikan angkanya dan jadi andalan," kata Riyanto.
Lombok bisa mendatangkan wisatawan Muslim mancanegara hingga sekitar 100 ribu orang per hari. Dalam satu tahun jumlahnya mencapai 1,4 juta orang. Sementara Sumatra Barat sekitar 500 ribu, Jawa Barat dan Aceh masih lebih rendah dibandingkan Lombok. Jakarta menargetkan 2 juta wisatawan Muslim pada 2020.
Menjaring wisatawan luar negeri ke Indonesia masih perlu upaya keras dibandingkan dengan negara tetangga semisal Malaysia dan Singapura. Pengamat ekonomi syariah yang juga Rektor STIE Tazkia, Murniati Mukhlisin mengatakan wisatawan mancanegara dari negara Islam lebih memilih Malaysia karena akomodasi halal lebih terjamin.
Mereka merasa nyaman karena akses mudah pada akomodasi sesuai syariah. "Makanan, akomodasi mereka telah terakreditasi halal sehingga membuat wisatawan Muslim mancanegara nyaman," kata dia, setelah Kelas Intensif Ekonomi Islam Universitas Indonesia di Depok, beberapa waktu lalu.
Murniati menambahkan salah satu kelemahan Indonesia adalah kurang terintegrasinya kebijakan antar pihak berkepentingan untuk bersama-sama menciptakan ekosistem halal. Karena membangun ekosistem halal tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Seperti pariwisata halal yang butuh kolaborasi berbagai pihak. Mulai dari biro perjalanan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Agama, Kementerian Informatika dan Telekomunikasi, pemerintah daerah, penjamin makanan halal dan lainnya.
Indonesia menempati posisi keempat dalam laporan The State of The Global Islamic Economy 2017/2018 untuk pariwisata halal. Saat ini Indonesia menjadi salah satu dari sepuluh Muslim Outbound Markets. Artinya Indonesia masih menjadi sebatas pasar potensional dan sasaran empuk, namun bukan pemain besar.
Berdasarkan studi Mastercard-Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2016, total jumlah wisatawan Muslim dunia mencapai 117 juta pada 2015. Jumlah itu diperkirakan terus bertambah hingga mencapai 168 juta wisatawan pada 2020 dengan pengeluaran di atas 200 miliar dollar AS atau sekitar Rp 2,6 triliun.
"Potensi ini harus kita kelola, kita lihat negara lain kuat di keinginan pemerintahnya, strategi dan programnya jelas, juga niatan untuk memimpin itu tinggi," kata Murniati.
Ia melihat saat ini upaya untuk menuju ke sana sudah ada, mulai dari dorongan pemerintah dan keaktifan pelaku pasar. Ia berharap dalam satu tahun kedepan, ekosistem halal sudah mulai bisa berkembang subur untuk menyambut potensi yang ada.