Senin 12 Nov 2018 16:07 WIB

Isu Pangan Jadi Dagangan Politik

Kedaulatan pangan juga menjadi dagangan politik

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Dwi Murdaningsih
Pemandangan lahan sawah berada di pemukiman penduduk,  kawasan Blang Bintang, Aceh Besar, Aceh, Kamis (23/11). Kementerian Pertanian pada tahun anggaran 2018 merencanakan mencetak sawah baru seluas 37.360 hektare dengan alokasi anggaran sebesar Rp710 miliar dalam upaya  mewujudkan  swasembada pangan nasional.
Foto: Ampelsa/Antara
Pemandangan lahan sawah berada di pemukiman penduduk, kawasan Blang Bintang, Aceh Besar, Aceh, Kamis (23/11). Kementerian Pertanian pada tahun anggaran 2018 merencanakan mencetak sawah baru seluas 37.360 hektare dengan alokasi anggaran sebesar Rp710 miliar dalam upaya mewujudkan swasembada pangan nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Jurnalis Senior Usman Kasong menilai swasembada pangan masih terus menjadi semacam utopia bagi bangsa Indonesia. Karenanya, janji mewujudkan kedaulatan pangan menjadi satu dagangan yang cukup laris untuk mendulang suara rakyat demi memenangkan pemilihan umum.

Sudah menjadi pemandangan lumrah calon-calon pemimpin yang maju dalam pemilu mengumbar janji manis kedaulatan pangan. Calon bupati, wali kota, gubernur sampai calon presiden tidak ketinggalan menjajakan dagangan kedaulatan pangan.

Secara istilah, jurnalis dia, menerangkan, kedaulatan pangan dapat diartikan sebagai hak mendefinisikan sistem pangan untuk mereka sendiri. Istilah itu baru digunakan Via Campesina pada 1996.

Sayangnya, ketahanan pangan Indonesia masih berada di posisi 69, bahkan masih berada di bawah negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand, Malaysia atau Singapura. Meski begitu, dagangan kedaulatan pangan tetap laris.

"Kedaulatan pangan menjadi suatu mantra politik," kata Usman, saat mengisi kajian publik MPM PP Muhammadiyah di Grha Suara Muhammadiyah, Sabtu (10/11).

Tidak heran, janji mewujudkan kedaulatan pangan seakan memiliki kekuatan magis yang sangat besar sampai menghipnotis masyarakat awam. Walaupun, janji itu tak senikmat makanan yang terpaksa mereka kunyah setiap hari.

Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Bambang Cipto menilai, kebutuhan pangan yang menjadi isu internasional sejak lama telah menjadi santapan gurih kapitalis. Ia mengingatkan, pada 2020 mendatang jumlah manusia di dunia akan mencapai 9 miliar.

Sayangnya, saat ini, dari 7,5 miliar manusia saja, masih satu miliar manusia di dunia yang mengalami kurang gizi. "Ada 19 juta orang di Indonesia kekurangan pangan, kekurangan gizi, banyak stunting, anak-anak sejak lahir kurang gizi," ujar Bambang.

Selain itu, ia mengungkapkan, sebanyak 25 juta orang Indonesia masih berada di garis kemiskinan. Sebanyak 13 persen kemiskinan tersebar di desa-desa, paling banyak berada di Maluku dan Papua.

Lucunya, ada pertandingan data yang dimiliki pemerintah seperti yang terjadi antara Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian. Kondisi itu seakan menjadi penegasan masih jauhnya kedaulatan pangan di Indonesia.

"Dulu, ada janji empat tahun Indonesia mampu swasembada pangan, hari ini, 19 juta orang di Indonesia kurang pangan, kurang gizi," kata Bambang.

Kedaulatan, dirasa masih sangat jauh yang ditambah keputusan impor bahan-bahan pangan pokok. Mulai dari kacang kedelai, gula, jagung, gandum, bawang putih, tapioka sampai beras saja impor.

Lima juta petani di Indonesia sudah meninggalkan sawah, dan dari yang tersisa 70 persen sudah berusia rata-rata 45 tahun. Jadi, selain kedaulatan pangan yang masih jauh, regenerasi profesi petani dirasa akan sulit terwujud.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement