Ahad 11 Nov 2018 02:33 WIB

Menilai Kualitas Kepemimpinan Indonesia Lewat Bahasa

Bung Tomo, Hatta, hingga Sukarno kerap melontarkan diksi-diksi baru.

Abdullah Sammy.
Abdullah Sammy.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, wartawan Republika

Akhir-akhir ini publik disuguhkan diksi-diksi yang menggugah nalar. Mulai dari 'politik sontoloyo', 'tampang Boyolali', hingga yang paling anyar 'politik genderuwo'.

Tentu banyak muncul reaksi sebagai respons atas diksi-diksi itu. Para cheerleader membela apa pun diksi yang dilontarkan oleh junjungannya sebagai sebuah konsep nan agung. Sebaliknya, diksi dari sang lawan dihujat dan digugat.

Dalam tulisan ini saya tak ingin menghakimi masing-masing diksi. Tapi saya ingin membahas permainan kosakata ini dalam kaca mata historis.

Saya ingin membandingkan kosakata yang diperkenalkan pemimpin hari ini dengan pemimpin di masa yang lalu. Mari kita terbang ke awal abad ke-20.

Saat itu, sejumlah pemimpin bangsa mampu melontarkan diksi-diksi yang masih asing di telinga ataupun kepala. Simak saja penggunaan diksi Muhammad Yamin dalam Kongres Pemuda I pada 1926. Sebagai tokoh pemuda Sumatra, Yamin melontarkan gagasan lewat diksi yang abadi hingga kini, yakni 'bahasa persatuan'.

Sedangkan Muhammad Hatta dalam pidato pembelaannya tahun 1927 berjudul Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) melontarkan diksi, 'hukum besi sejarah dunia'. 'Hukum besi sejarah dunia' menurut Hatta adalah semacam hukum tak tertulis bahwa negara yang dijajah akan merebut kembali kemerdekaannya.

Dalam pidatonya, Hatta juga tak ketinggalan mengutip kata-kata puitis seorang aktivis, komposer, sekaligus penulis puisi kenamaan Eropa abad ke-19, Rene de Clerq. “Hanya satu tanah yang dapat disebut Tanah Airku, ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku.” 

Bung Tomo boleh jadi memiliki diksi yang paling mampu 'membakar' semangat perjuangan rakyat. Dalam pidatonya dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945, melontarkan diksi: 'lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka' dan 'merdeka atau mati'.

Dari semua tokoh bangsa, Presiden Sukarno barangkali yang menjadi sosok yang paling sering melontarkan diksi-diksi baru. Diksi Bung Karno tak hanya menambah khazanah berbahasa, tetapi juga menjadi landasan ideologi bangsa.

Diksi dari Bung Karno diambil terinspirasi dari berbagai sumber. Karena kegemarannya dalam membaca Bung Karno mampu menyarikan diksi yang diambil dari literatur era klasik, pertengahan, hingga modern.

Bahkan tak jarang diksi ini dijadikan judul pidatonya, seperti 'vivere pericoloso' pada pidato 17 Agustus 1964. 'Vivere pericoloso' merupakan diksi yang diambil dari bahasa Italia yang berarti tahun yang penuh bahaya. Hebatnya, diksi Sukarno ini mampu menginspirasi dunia.

Diksi vivere pericoloso itu mampu menginspirasi novelis Australia Christopher Koch dalam melahirkan karyanya, The Year of Living Dangerously. Novel yang terinspirasi dari pidato vivere pericoloso itu kemudian dibuat sebuah film dengan judul yang sama dan diperankan aktor Mel Gibson.

Sebelum Jokowi melontarkan 'politik sontoloyo', Bung Karno telah lebih dahulu menggunakan kata sontoloyo dalam diksi 'Islam sontoloyo'. Tapi Bung Karno tak sekadar melepaskan diksi berbobot kosong. Ada penjelasan yang cukup kritis di balik istilah Islam sontoloyo itu.

Semua itu dituangkan Bung Karno tak sekadar lewat ocehan, melainkan tulisan di Majalah Pandji Islam tahun 1940. Sukarno menjelaskan bahwa artikel itu berdasarkan dari sebuah kasus kriminal saat seorang guru mengaji memperkosa muridnya yang masih kecil.

Kasus yang terekam dalam dukumentasi Majalah Pemandangan edisi 8 April 1940 itu membuat Sukarno merangkumnya dengan diksi Islam Sontoloyo. Diksi yang berarti mengaku Islam tapi kelakuannya jauh dari Islam, melainkan sontoloyo. Islam Sontoloyo menjadi konsep krtisisme Islam yang hanya terfokus pada fiqih, minus ilmu ahlaq yang tertuang dalam Alquran dan Sunnah.

Memang, kalau membaca kembali satu per satu pidato dan tulisan Bung Karno, kita bisa dibuat takjub dengan rujukan-rujukan yang dikutip. Nyatanya diksi berbobot tak lahir dari kepala kosong, apalagi kepala ghost writer. Bung Karno membaca dan mengutip sendiri pemikir-pemikir dunia lewat referensi yang senantiasa dia sampaikan dalam isi pidatonya.

Dalam pidato Pancasila 1 Juli 1945 setidaknya ada belasan karya pemikir yang dikutip Bung Karno, di antaranya buku HC Amstrong, Leo Tolstoy, Rene Fulop Miller, John Reed, Sun Yat Sen, Otto Bauer, Ernest Renan, A. Baars, Mahatma Gandhi, dan Jean Jaures. Rangkuman dari seluruh bacaan berbobot Bung Karno itulah yang kemudian melahirkan diksi yang paling monumental bagi bangsa Indonesia, yakni 'Pancasila'.

Deretan diksi para pemimpin bangsa itu bisa tarik dan bandingkan dengan masa kini. Mari kita bandingkan dengan diksi-diksi awal abad ke-20 itu dengan diksi pemimpin masa zaman now, yakni 'politik sontoloyo, tampang Boyolali, dan politik genderuwo.

Silakan anda berpikir dan resapi, apakah kualitas kepemimpinan kita meningkat atau jauh menurun?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement