Sabtu 10 Nov 2018 14:01 WIB

Tingkatkan Gizi di Indonesia, Konsumsi Susu Harus Didongkrak

Riskesdas 2018 telah menunjukkan adanya perbaikan status gizi balita.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Kalsium menjadi salah satu alasan anak butuh minum susu.
Foto: wikimedia
Kalsium menjadi salah satu alasan anak butuh minum susu.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Untuk menyambut Hari Kesehatan Nasional pada 12 November 2018, pemerintah terus mengupayakan pembangunan kesehatan melalui peningkatan kualitas gizi masyarakat. Menurut Peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Dr drg Amaliya, upaya Pemerintah mengatasi berbagai masalah kekurangan gizi di Indonesia perlu diapresiasi. 

Amaliya menjelaskan, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 telah menunjukkan adanya perbaikan status gizi balita di Indonesia. Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2 persen (Riskesdas 2013) menjadi 30,8 persen. Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6 persen (Riskesdas 2013) menjadi 17,7 persen.

Amaliya menilai, untuk meningkatkan gizi masyarakat melalui semangat Hari Kesehatan Nasional, sangat penting bagi seluruh pemangku kepentingan bersatu dan bekerja sama mengatasi permasalahan gizi di Indonesia. 

"Salah satunya dengan meningkatkan konsumsi susu dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Amaliya dalam siaran persnya, Sabtu (10/11).

Menurut Amaliya, susu dan produk olahannya memiliki kandungan protein, lemak, dan vitamin yang sangat dibutuhkan guna mendukung perkembangan seseorang di setiap tahap kehidupan. Namun, konsumsi susu di Indonesia masih sangat rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi susu masyarakat Indonesia pada tahun 2017 hanya berkisar 16,5 liter/kapita/tahun, sangat rendah dibandingkan negara ASEAN lain sesuai data USDA Foreign Agricultural Service 2016 seperti Malaysia (50,9 liter), Thailand (33,7 liter), dan Filipina (22,1 liter).

Sampai saat ini, kata dia, salah satu yang berandil besar terhadap konsumsi susu di masyarakat adalah susu kental manis. Namun, pandangan sebagian pihak mengenai susu kental manis terutama menyangkut kandungan gula dan susu masih kurang tepat sehingga memicu polemik. 

Untuk meluruskan berbagai perbedaan pandangan itu, kata dia, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan Peraturan (Perka) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Peraturan ini mewajibkan label produk susu kental manis mencantumkan keterangan. Isinya, berbunyi “Perhatikan! Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu; Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan; dan Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi”.

Amaliya menjelaskan, Peraturan 31/2018 juga menegaskan susu kental manis sebagai produk susu, sejalan dengan Peraturan Kepala BPOM Nomor 21 tahun 2016 tentang Kategori Pangan. “Dalam aturan tersebut menyimpulkan susu kental manis adalah susu dan konsumsinya perlu memerhatikan aturan BPOM,” kata Amaliya.

Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM Anisyah mengatakan, penerbitan Perka BPOM 31/2018 akan menjawab berbagai pertanyaan masyarakat. Sesuai Perka tersebut, susu kental manis merupakan produk susu yang dapat dikonsumsi untuk meningkatkan gizi masyarakat Indonesia. 

Namun, seperti halnya pangan olahan lain, susu kental manis tidak bisa dijadikan satu-satunya sumber gizi. Oleh karenanya, setiap pangan olahan harus didampingi sumber nutrisi lain agar lebih seimbang. 

“Kami sebagai bagian dari Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk memastikan efektivitas National Food Control Systems, salah satunya melalui pengawasan pre market evaluation dan post market control, " papar Anisyah. 

Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Achmad Syafiq mengatakan, standar susu kental manis didasarkan kepada rumusan Codex Alimentarious Commission (Codex Stan 282-1971)  dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 2971-2011. Sesuai standar tersebut, susu kental manis harus mengandung protein minimal 6,5-9,52 persen dan kadar lemak minimal 8 persen.

Menurut Syafiq, susu kental manis juga memiliki kandungan energi yang diperlukan untuk mendukung pemenuhan gizi masyarakat, termasuk anak-anak. Oleh karenanya, susu kental manis tidak masalah dikonsumsi secara proporsional. “Kalau sudah berlebih, pangan olahan apapun juga tidak boleh,” katanya.

Syafiq mengatakan, anggapan sebagian pihak yang menyatakan susu kental manis menyebabkan berbagai penyakit seperti obesitas dan diabetes juga tidak berdasar. Karena, tidak ada bukti ilmiah susu kental manis menyebabkan gangguan penyakit. Berdasarkan kajian lembaga kesehatan dunia (WHO) kegemukan disebabkan banyak faktor di antaranya rendahnya aktivitas fisik, rendahnya asupan serat, dan tingginya asupan energi harian total, bukan dari satu jenis pangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement