REPUBLIKA.CO.ID, Siapapun di dunia ini yang telah memberikan jasanya untuk negara patut diberikan penghargaan. Tak terkecuali bagi mereka yang terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) di masa dahulu.
Di Kota Malang, terdapat satu putera daerah yang namanya cukup dikenal bagi mereka yang mengetahui perjalanan pemerintahan di masa Bung Karno. Ialah Kiai Haji Masjkur, pria kelahiran Malang pada 1904 ini sempat menjadi Menteri Agama (Menag) dari 1947 sampai 1955. Bahkan, cucu menantu dari ulama besar Malang, Mbah Thohir ini, merupakan salah satu pendiri Laskar Sabilillah.
Tim Peneliti dan Pengusul Gelar Pahlawan Kyai Haji Masjkur, Abdurrahim menerangkan, pengusulan gelar pahlawan nasional telah disiapkan sejak November 2017. Enam bulan melakukan penelitian, tim langsung menyerahkan keperluan administratif ke Kementerian Sosial (Kemensos). Beragam tahapan telah dilalui sampai akhirnya nama Kyai Haji Masjkur masuk ke dalam enam besar.
"Ini baru pengusulan, belum penetapan. Tidak mungkin untuk tahun ini (karena suatu hal), semoga nanti bisa," kata pria yang biasa disapa Rohim ini saat ditemui Republika.co.id, di Merjosari, Kota Malang, Jumat (9/11).
Rohim juga menilai wajar apabila usulan gelar pahlawan Kyai Haji Masjkur belum dapat ditetapkan tahun ini. Jawa Timur (Jatim) memang sudah terlalu sering mengusulkan tokoh menjadi pahlawan nasional. Terakhir kali di 2015, Jatim berhasil menetapkan Pendiri Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), Mas Iman sebagai pahlawan.
Pengusulan gelar pahlawan Kyai Haji Masjkur sendiri tidak serta-merta muncul dari pihak Yayasan Sabilillah. Namun, lebih kepada penilaian masyarakat yang telah lama mengetahui perjalanan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) tersebut. Sahabat dekat Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim ini dianggap layak mendapatkan gelar pahlawan nasional.
Rohim menceritakan, pengalaman heroik Masjkur yang dianggap perjuangan luar biasa dalam mempertahankan RI di masa lampau. Di masa agresi militer Belanda II, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap oleh para sekutu. Seluruh menteri di era pemerintahan tersebut pun ikut tertangkap, kecuali lima lainnya.
"Ada lima menteri yang tidak tertangkap, tiga lagi tugas negara di luar negeri. Dan Masjkur (Menag) yang saat itu berada di Jogja tidak tertangkap," ungkap Rohim.
Berdasarkan informasi yang dihimpun peneliti, Masjkur bisa lolos karena kebiasaannya yang suka shalat Subuh di masjid sekitar rumah. Sepulang shalat subuh bersama sang putera yang berumur 10 tahun, Masjkur justru menemukan kediamannya di Yogyakarta telah dikepung sekutu. Untuk menyelematkan diri, dia pun berusaha kabur ke arah hutan bersama anak dan sekretaris pribadinya.
"Dia jalan tiga kilometer ke Krapyak lalu lurus untuk tembus ke Solo dengan jalan kaki. Pas sampai Solo ada mobil dinas pemerintah Solo, dari situ pakai mobil untuk ke Ponorogo," tambah dia.
Masjkur menginap di Pesantren Gontor, Ponorogo sekitar empat sampai Iima hari. Di tempat ini, Masjkur tidak hanya sekedar melarikan diri dari pengejaran para sekutu. Ia juga berusaha melakukan konsolidasi dengan para kyai dan ulama ihwal kondisi RI yang terkini. Pelarian Masjkur dengan tugas konsolidasinya terus berlanjut sampai ke wilayah Trenggalek di mana ia sempat bertemu dengan Jenderal Sudirman.
Penangkapan kepala negara di agresi militer Belanda II seharusnya dapat dikategorikan telah terjadi pembubaran satu negara, Indonesia. Akan tetapi, Bung Karno kala itu langsung bergerak cepat dengan mengirim memo kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara. Sjafruddin yang berada di hutan belantara Sumatera ditunjuk untuk memimpin pendirian Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Pemerintahan yang berlangsung dari 22 Desember 1948 sampai 13 Juli 1949 ini tak hanya dipimpin Sjafruddin sendirian dari Pulau Sumatera. Dia memberi mandat ke tiga menteri untuk melakukan tugas kepresidenan di Jawa Timur dan dua tokoh lainnya di Jawa Tengah. Pemerintahan di lokasi-lokasi ini dikenal dengan sebutan Komisariat Pemerintah Pusat di Djawa (KPPD).
"Dan kebetulan salah satu yang memegang Jawa bagian timur itu Pak Kyai Masjkur," tegasnya.
Menurut Rohim, tugas yang dipegang Kiai Masjkur setara dengan yang dilakukan presiden. Dia diberi mandat untuk terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa Republik Indonesia (RI) masih berdiri. Tak ada pembubaran negara meski kepala negara dan sejumlah menterinya tertangkap oleh para sekutu.
"Secara fisik atau militer, Jenderal Sudirman lah yang berjasa dalam mempertahankan Indonesia. Tapi untuk meyakinkan masyarakat bahwa RI tidak bubar ini para Komisariat Pemerintah Pusat di Djawa (KPPD)," jelasnya.
Di perjalanan tugasnya, Masjkur memang lebih mengutamakan menggunakan jaringan Laskar Sabilillah. Di wadah ini, dia mendekatkan diri kepada para kiai, ulama dan santri di desa-desa dengan pidatonya. Ia menegaskan kepada mereka bahwa Indonesia masih ada, tidak pernah bubar sebagaimana diinformasikan oleh para sekutu.
"Itu luar biasa mencekam. Pidato meyakinkan dunia kalau Republik Indonesia masih ada. Yang paling penting itu mempublikasikan ke internasional, ke PBB melalui radio kalau RI masih ada. Masih diakui keberadaannya di internasional," tegasnya.
Adapun keterlibatan Masjkur pada Laskar Sabilillah, Rohim mengatakan, hubungan keduanya sangat kuat. Kiai Masjkur merupakan pimpinan tertinggi Laskar Sabilillah yang dibentuk berdasarkan Kongres Masyumi. Pembentukan laskar ini muncul berdasarkan rekomendasi dari para kiai, ulama dan santri.
Seperti diketahui, situasi politik yang tidak menentu membuat Indonesia sangat membutuhkan tenaga militer. Kondisi tentara yang kurang memumpuni membuat semua elemen menggerakkan diri untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hal ini termasuk Laskar Sabilillah yang terdiri dari santri, kiai dan ulama dari berbagai usia.
"Kenapa Kiai Masjkur bisa menjadi pimpinan? Karena dia tokoh dominan di Islam, dia muda dan punya banyak jaringan sehingga bisa membangun di daerah. Dan itu terbukti saat agresi militer Belanda II, dia jadi media konsolidasi dengan para kyai, ulama dan santri di pelosok pedesaan," tambah dia.