Sabtu 10 Nov 2018 04:00 WIB

Perang Istilah: 'Genderuwo Politik Hingga Tampang Boyolali'

Istilah yang dilontarkan capres-cawapres diteruskan oleh tim suksesnya.

Rep: Fauziah Mursid/Ali Mansur/ Red: Muhammad Hafil
Badan Pemenangan Nasional (BPN) menggelar konferensi pers terkait polemik pernyataan 'tampang boyolali' di Media Center Pemenangan Prabowo - Sandiaga, Jakarta, Selasa (6/11).
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Calon Wakil Presiden nomer urut 02 Sandiaga Uno (kedua kiri) berbincang dengan pengunjung pasar saat melakukan kunjungan ke Pasar Modern BSD, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (9/11/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon Wakil Presiden Nomor Urut 02 Sandiaga Salahudin Uno enggan berkomentar negatif tentang ucapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut adanya genderuwo politik. Namun, ia meminta pemerintah untuk mewaspadai genderuwo ekonomi.

"Saya tidak ingin berkomentar yang negatif tapi mungkin yang dimaksud Pak Presiden itu politisi atau politik genderuwo itu yang berkaitan dengan ekonomi rente,  mafia ekonomi, mafia pangan atau mafia lainnya sebagai genderuwonya ekonomi," kata Sandiaga, Jumat (9/11).

Ia menduga yang disebut sebagai genderuwo adalah genderuwo ekonomi rente, genderuwo pangan, dan genderuwo yang membuat ekonomi Indonesia lemah dan tidak mandiri.

Genderuwo ini, kata Sandiaga, menggerogoti ekonomi Indonesia. Akibatnya, ekonomi negara ini menjadi lemah, tidak mandiri, dan bergantung pada faktor eksternal.

Sandiaga berpendapat genderuwo-genderuwo ini harus dienyahkan, baik sebagai operator ekonomi yang bertindak sebagai genderuwo dan politisi yang memback-upnya.

Genderuwo ekonomi, kata Sandiaga, membuat harga- harga melangit dan lapangan pekerjaan semakin sulit didapat. Ia mengaku sependapat dengan Jokowi yang menyatakan bahwa genderuwo ekonomi adalah musuh bersama.

“Kita patahkan political genderuwo ekonomi dengan para politisi yang mendukungnya. Ini peringatan dari Presiden,” jelas Sandi.  

Sementara, satu bulan setengah sejak masa kampanye dimulai pada 23 Oktober 2018 lalu, tak banyak adu argumen terkait gagasan substantif yang disuguhkan kedua pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kepada masyarakat. Masyarakat justru lebih banyak disuguhkan adu kritik pernyataan tak terkait substantif visi, misi maupun program dari kedua pasangan calon.

Publik tentu masih hangat dengan berbagai istilah yang dilontarkan kedua pasangan calon mulai dari 'indonesia bubar 2030, 99 persen rakyat hidup pas-pasan, tampang Boyolali dari Prabowo, dan tempe setipis ATM, chicken rice Singapura ala Sandiaga Uno. Tak mau kalah dari penatang, kubu pejawat, Joko Widodo juga tak kalah melempar istilah yang berujung kontrovesi, mulai dari politikus sontoloyo, dan terbaru yakni politik genderuwo.

Pengamat komunikasi politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Kuskridho Ambardi menilai gaya komunikasi yang ditampilkan kedua pasangan calon dan tim suksesnya sebagian dibentuk oleh situasi yang terpolarisasi atau terbagi dalam dua bagian. Khususnya, terbelahnya di tingkat para pendukung yang saling tak menyukai satu sama lain.

"Gaya berkomunikasi para capres-cawapres dan timsesnya sebagian dibentuk oleh situasi yang terpolar. Terutama di tingkat para pendukungnya yang saling tak menyukai satu sama lain.

Hasilnya, seringkali mereka saling ejek, bukan saling berdebat beradu argumen," ujar Kuskridho ketika dihubungi wartawan, Jumat (9/11).

Menurutnya, situasi yang sudah nampak terbagi tersebut kemudian direspon oleh kedua tim pasangan maupun pasangan itu sendiri. Akibatnya, pembagian tersebut makin nampak dengan istilah-istilah yang dilontarkan oleh masing-masing kubu.

"Situasi tersebut yang kadang direspon oleh para kandidat dan juru bicara masing-masing dan sejumlah istilah yang keras dengan muatan emosi kadang muncul," ujar Kuskrido.

Ia menilai situasi tersebut, sebenarnya telah nampak sejak Pemilu era Susilo Bambang Yudhoyono, namun masih lebih terkendali.

Lebih lanjut, Kuskrido menilai jika gaya komunikasi tersebut diteruskan oleh kedua pasangan beserta tim suksesnya, maka masyarakatlah yang paling dirugikan. Sebab, istilah tersebut dianggap lebih menarik oleh media konvensional dan media sosial untuk diangkat ke permukaan.

Sementara, fokus terhadap gagasan program dan arah kebijakan kebijakan menjadi luput dari perhatian.

"Kita semua yang rugi pada akhirnya. Sebab, media konvensional dan terutama media sosial menjadi gelanggang ekspresi yang sangat bebas dan etiket sering hilang.

Sementara, fokus media dan media sosial bukan pada gagasan-gagasan kebijakan," kata dia.

Meskipun kata dia, gaya tersebut dianggap lebih efektif untuk menarik perhatian masyarakat. Namun menurutnya, tak berarti efektif untuk sebuah debat kebijakan yang bisa memberikan arah kemana indonesia lima tahun ke depan.

"Dan belum tentu efektif untuk mendapatkan dukungan suara. Sebagian pemilih malah menjadi mengambang," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement