Sabtu 10 Nov 2018 15:31 WIB

Stunting, Bukan Sekadar Masalah Ibu-Ibu yang Kurang Ilmu

Sebanyak 35 persen balita Indonesia masuk kategori stunting.

Sejumlah warga mengikuti Kampanye Nasional Cegah Stunting di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (16/9). Kegiatan tersebut digelar dengan mengangkat tema
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Sejumlah warga mengikuti Kampanye Nasional Cegah Stunting di kawasan Monas, Jakarta, Minggu (16/9). Kegiatan tersebut digelar dengan mengangkat tema

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Indira Rezkisari*

Malnutrisi dan obesitas. Dua isu ini masih terus menjadi problem di dunia. Di belahan dunia tertentu upaya untuk menghilangkan kekurangan gizi di bayi dan anak merupakan isu serius. Sedang di negara lain, obesitas adalah perjuangan yang juga tak hebatnya dilawan oleh para ibu dan negara.

Di Indonesia, isu stunting atau tumbuh kembang yang tidak optimal hingga bertubuh pendek adalah permasalahan besar. Mengapa besar? Karena Indonesia masuk dalam daftar negara dengan status gizi buruk versi Badan Kesehatan Dunia atau WHO PBB.

WHO menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek) maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Sementara, di Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek. Angka tersebut membuat WHO menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan, faktor utama tingginya masalah stunting di Indonesia salah satunya adalah buruknya asupan gizi sejak janin masih dalam kandungan (masa hamil), baru lahir, sampai anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada dua tahun pertama kehidupan dapat menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat lagi diperbaiki. Investasi gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan merupakan kewajiban yang tak bisa ditawar.

Menciptakan negara yang bebas gizi buruk ternyata tidak mudah. Waktu saya masih kecil saya biasa menonton di TVRI tayangan berita tentang anak gizi buruk. Tapi itu di Afrika. Di otak kecil saya jelas terekam anak-anak yang begitu kurus, hanya berbalut tulang, plus dirubung lalat pula mereka. Saya ingat di berita anak-anak di Afrika kekurangan gizi karena negaranya begitu miskin akibat didera perang.

Bertahun-tahun kemudian saat saya baru jadi jurnalis di tahun 2005, saya tidak menyangka malnutrisi dengan mudah ditemukan di Indonesia. Di Bogor, misalnya, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Jakarta masih ada anak kekurangan gizi.

Yang membuat saya kaget, anak yang dicap kekurangan gizi tidak tinggal di rumah yang buruk. Setidaknya mereka punya televisi, lantai rumahnya disemen, serta memiliki akses ke kamar mandi. Orang tua anak meski serabutan tapi bekerja.

Lalu pertanyaan di benak saya muncul. Apa sesungguhnya yang memicu anak kurang gizi?

Setelah saya memiliki anak sendiri, saya paham jawabannya. Pengetahuan.

Ibu yang tidak paham alias kurang ilmu tentu saja tidak bisa memberi yang terbaik buat anaknya. Iya, dong. Iya, kan?

Ternyata, masalahnya lebih kompleks dari itu. Ilmu seperti apa yang harus dimiliki ibu dalam urusan tumbuh kembang anaknya. Dalam hal ini urusan memberi makan anak di 1.000 hari pertamanya.

Saya dulu ternyata masuk kategori sok tahu. Mengedepankan segala yang buatan sendiri. Bahkan menghina mereka yang menyiapkan makanan dari kotak-kotak makanan khusus bayi itu.

Salahkah saya? Tentu saja. Mengutip perkataan ahli laktasi saya, jadi ibu itu jangan sekadar beragama tapi tidak beriman. Maksud sang ahli adalah, kalau mau memberi makan anak ikuti panduannya yang benar. Yang petunjuknya dikeluarkan oleh IDAI oleh WHO. Bukan karena kata ibu A, makan ini saja anaknya lebih cepat gendut. Atau ikut ibu B yang bilang makanan rumahan selalu lebih sehat dibanding makanan kotakan itu.

Saya mau membuat pengakuan dosa. Dulu saya asik saja memilih tepung organik yang berisi satu macam umbi buat makan bayi. Bayangkan, bayi hanya diberi karbohidrat saja. Ketika dia sesungguhnya butuh protein dan gizi lain-lainnya. Alasannya, teman-teman saya kasih makan itu kok ke anaknya.

Saya juga korban ibu-ibu naturalis yang mengedepankan sayur dan buah ke anak ketimbang protein hewani. Alasannya, buah dan sayur lebih mudah dicerna anak dibanding daging, ayam, atau ikan. Demikian menurut paham yang dulu saya banyak dengar dari teman-teman saya.

Salah? Tentu saja, Karena 1.000 hari pertama membutuhkan komposisi gizi seimbang. Bahkan dengan kecenderungan butuh protein dalam takaran lebih banyak.

Kesalahan lain, saya ‘mengharamkan’ makanan khusus bayi dan anak dalam kemasan. Alasannya, makanan tersebut dipandang berpengawet dan berperisa alias ditambahkan gula dan garam hingga tidak cocok untuk bayi.

Saya ingat dulu ada seorang dokter di Twitter yang kena bully ramai-ramai karena menyarankan anak diberi MPASI makanan kemasan. Kini, saya paham betul. Dalam kasus khusus, misalnya ketika anak kurang berat badannya, maka makananya harus bisa dipastikan gizinya. Salah satu bentuknya adalah melalui makanan kemasan khusus bayi dan anak yang takaran gizinya jelas per porsinya. Ditambah lagi makanan tersebut terfortifikasi alias diberi tambahan gizi, vitamin, hingga mineral yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang.

Intinya, jadi ibu itu ternyata harus berpikiran luas. Kalau Anda memutuskan memilih paham A, Anda harus yakini betul plus minusnya. Jangan memiliki kiblat sebatas kata teman. Pastikan kiblat tumbuh kembang anak berpatokan pada anjuran dari ahlinya, dalam hal ini dokter spesialis anak.

Dokter pasti tahu kok, mengapa tidak masalah anak makan diberi tambahan garam dan gula. Atau mengapa sebaiknya tidak,

Jangan sampai Anda telanjur menyesali tumbuh kembang anak yang tidak optimal karena ketidaktahuan ibu. Jangan sampai anak telanjur stunting karena ketidaktahuan ibu.

Stunting merupakan masalah pertumbuhan yang dapat memberi implikasi besar bagi kesehatan dan kualitas hidup anak di masa mendatang. Betapa tidak, stunting dapat meningkatkan risiko kematian hingga empat kali lipat lebih besr dan menurunkan IQ hingga 11 poin pada anak.

Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik FKUI/RSCM Dr dr Damayanti R Sjarif SpA(K), mengatakan stunting bisa dicegah. Salah satu caranya dengan meningkatkan asupan protein.

Jenis protein yang disarankan untuk anak adalah protein yang berasal dari hewan atau protein hewani. Protein hewani dinilai lebih baik karena memiliki kandungan asam amino esensial yang lebih lengkap dibandingkan protein nabati.

Beberapa contoh protein hewani yang bisa diberikan kepada anak sebagai MPASI adalah daging, ikan dan telur. Sumber protein hewani ini bisa dicampurkan dengan nasi dan diblender terlebih dahulu hingga halus sebelum diberikan kepada anak sebagai MPASI.

Early protein hypothesis memang mensinyalir bahwa konsumsi protein berlebih pada 1.000 hari pertama kehidupan dapat meningkatkan angka obesitas pada anak di masa mendatang. Akan tetapi, pemberian protein yang tidak melewati batas terbukti aman bagi anak.

Pemerintah memang sedang bekerja mengatasi masalah stunting di Indonesia. Jangan salah, stunting tidak hanya dialami anak di daerah yang belum berkembang di Tanah Air. Di kota besar, stunting juga terjadi.

Mari menjadi ibu yang bijak demi tumbuh kembang anak yang optimal.

*Penulis adalah redaktur gaya hidup Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement