REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Universitas Bengkulu Drs Azhar Marwan M.Si mengatakan masyarakat Indonesia sekarang belum siap mental dan psikologis menghadapi hoaks. Padahal, masyarakat Indonesia sekarang masuk pada era budaya politik yang perdebatannya lebih mengutamakan emosi dan keluar dari inti kebijakan.
Ia menambahkan akibat kurang cerdasnya masyarakat dalam menyaring informasi yang ada maka berita bohong atau hoaks bertebaran di mana mana. Karena itu, pemerintah dan pihak terkait harus bisa memberikan pencerahan dan pencerdasan terhadap masyarakat.
“Agar bisa lebih selektif dalam membaca dan menonton sebuah informasi yang disodorkan kepadanya," kata pakar komunikasi politik Universitas Bengkulu di Jakarta, Kamis (8/11).
Selain pemerintah, ia mengatakan, para akademisi sebagai agen perubahan juga memiliki peran dalam membentuk masyarakat menjadi siap mental dan psikologis untuk menghadapi berita bohong. “Sebab, masyarakat terlalu gampang percaya dalam menerima sebuah isu," ujar Azhar.
Penegakan hukum terhadap berita bohong atau hoaks di Indonesia berlangsung dengan baik serta sudah mempunyai aturan yang jelas. Hal yang dibutuhkan sekarang tinggal penegakan hukumnya yang harus lebih tegas.
"Jangan ciptakan ruang dan peluang berkembangnya berita hoaks ini di tengah masyarakat. Kemajuan teknologi juga dapat memberikan peluang dan kecepatan pelaku untuk menyalahgunakan teknologi saat ini," kata Azhar.
Azhar mengatakan para penegak hukum dalam meredam sebuah fenomena hoaks harus tegas pada pembuat atau pelaku maupun penyebarnya. Bahkan, pendesainnya harus lebih diutamakan penanganannya karena dia merupakan sumber utama berita bohong tersebut.
"Apabila penanganan hoaks ini tidak dilakukan secara tegas, maka bisa mengakibatkan hoaks ini dilakukan oleh sekelompok orang yang terorganisasi untuk kepentingan tertentu bahkan ada kelompok yang menjadi lembaga jasa dan bisa saja orang atau kelompok secara tidak sadar bahwa mereka dijadikan alat sebuah kepentingan," jelas Azhar.
Bagaimanapun berita bohong atau hoaks harus dianggap sebagai tindakan berbahaya dan menyesatkan. Bahkan, agama sangat melarang perbuatan fitnah dalam kehidupan manusia. Lebih parah lagi dianggap lebih kejam dari pembunuhan, demikian Azhar.