Rabu 07 Nov 2018 18:21 WIB

Fayakhun, Politikus yang Merasa Diadili Sendirian

Fayakhun adalah terdakwa kasus suap terkait proyek di Bakamla.

Rep: Antara, Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla Fayakhun Andriadi menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Bakamla Fayakhun Andriadi menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (17/10/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, Ada adagium, 'korupsi tidak mungkin dilakukan sendirian' dalam dunia penegakan hukum. Adagium itu sepertinya tak dirasakan oleh politikus Golkar, Fayakhun Andriadi.

Fayakhun adalah terdakwa kasus dugaan korupsi terkait proyek di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Pada Rabu (7/11) Fayakhun dalam nota pembelaannya (pleidoi), 'curhat' di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta.

"Majelis hakim yang mulia, sejak saya ditahan 23 Maret 2018 untuk menjalani proses hukum sampai sekarang, kok saya merasa sendirian dalam pusaran kasus yang membelit saya ini," kata Fayakhun.

Oleh jaksa penuntut umum dari KPK, Fayakhun dituntut 10 tahun penjara ditambah denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan ditambah pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah menjalani pidana pokok. Ia dinilai terbukti menerima suap 911.480 dolar AS dari Direktur PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah untuk mengurus pengadaan satelite monitoring dan drone dalam anggaran Bakamla APBN Perubahan 2016.

"Belum ada rekan DPR yang menjalani ditahan seperti saya, belum ada pengusaha yang ditahan dalam kasus ini, belum ada birokrat yang ditahan seperti saya. Saya merasa sendirian," tambah Fayakhun.

Fayakhun pun berusaha menerangkan logika penerimaan tersebut. Sebagai anggota DPR, tidak mungkin dirinya bisa sendirian mengatur anggaran Bakamla dalam APBN 2016. Ia menegaskan, dirinya bukanlah siapa-siapa dalam konteks penambahan anggaran Bakamla di APBN.

"Saya cuma anggota DPR biasa, anggota badan anggaran biasa, saya tidak punya kewenangan untuk mengatur rapat, memimpin rapat dan memutuskan hasil rapat. Bahkan saya tidak berwenang menandatangani dokumen apapun mengenai penambahan anggaran Bakamla," ungkap Fayakhun, lirih.

Fayakhun menyatakan, bahwa seniornya di Komisi I DPR, TB Hasanudin adalah orang yang mengenalkannya dengan Kepala Bakamla Arie Soedewo dan staf ahli Bakamla Ali Fahmi Habsyi. Kemudian ada juga Erwin Arief, seorang pengusaha yang merupakan kawan karib Fayakhun yang mengenalkannya dengan Fahmi Darmawasyah.

"Erwin yang berkepentingan dengan karier politik saya menawarkan membantu biaya logistik saya. 'Itulah gunanya teman' kata Erwin. Saat itu tidak ada terbesit sedikitpun niat jahat hati, saya bukan orang jahat, saya tidak mau mengambil yang bukan hak saya apalagi merugikan negara sama sekali tidak pernah ada niat," tambah Fayakhun.

Dalam perkara ini, kesalahan yang diakui Fayakhun hanyalah menerima uang dari Erwin. Uang yang diklaimnya hanya digunakan untuk kegiatan politik di Golkar.

Merasa diadili sendiri, Fayakhun pun meminta majelis hakim agar dapat memerintahkan jaksa mengusut keterlibatan pihak lain. Salah satu nama yang dia sebut di persidangan kemarin, adalah Ali Fahmi.

"Saya mohon majelis hakim juga mempertimbangkan keterlibatan Ali Fahmi Habsyi beserta pihak lain di belakangnya agar bisa diperiksa tuntas agar membuat terang seluruhnya kasus ini. Mohon majelis memerintahkan untuk menangkap dan mengadili Ali Fahmi Habsyi yang hingga kini tidak jelas keberadaan dan proses hukumnya," tambah Fayakhun.

Baca juga

Permohonan justice collaborator

Dalam perkara terkait Bakamla, KPK sebenarnya juga telah menyidik pihak lain, termasuk mantan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi di Bakamla, Nofel Hasan. Nofel yang didakwa menerima 104.500 dolar Singapura (sekitar Rp 1,045 miliar) dari pengusaha Fahmi Darmawasyah sudah divonis dan dijatuhi pidana empat tahun penjara pada 19 Maret.

KPK pun pernah mengingatkan Fayakhun untuk serius jika memang ingin mengajukan diri menjadi justice collaborator dan membongkar keterlibatan pihak lain. Sebelumnya, KPK telah menerima pengembalian uang negara Rp 2 miliar dari Fayakhun.

"Jadi kami masih ingatkan agar tersangka FA kalau serius ajukan JC perlu ungkap semua karena diduga dan fakta sidang juga sudah muncul sebagian diduga total dari nilai dana Rp 12 miliar jadi selisih perlu dijelaskan secara gamblang apakah mengalir ke diri sendiri. Jika tdak kemana aliran tersebut, kalau FA serius ajukan JC semestinya informasi seprti ini dibuka karena cukup banyak JC ditolak KPK kalau informasi yang dibuka tidak sepenuhnya atau setengah-setengah," kata Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Jumat (20/7).

KPK, sambung Febri, menghargai pengajuan JC dari Fayakhun. "Tapi kami ingatkan sekali lagi pengakuan dan keterangan tidak bisa disampaikan setengah-setengah itu poin krusial," tegasnya.

KPK juga pernah memeriksa nama-nama yang disebut Fayakhun, salah satunya adalah mantan Wakil Komisi I DPR TB Hasanuddin. Usai menjalani pemeriksaan, Hasanuddin mengaku dirinya dicecar soal prosedur pengadaan di Bakamla yang menjadi mitra kerja Komisi I DPR.

Kepada penyidik ia menyebut melakukan dua kali rapat bersama Fayakhun dalam membahas pengadaan di Bakamla. "Ditanya prosedur pada saat pengadaan, ada dua pengadaan rapat, rapat itu ada kesimpulan. Kesimpulan itu diserahkan ke Banggar," kata Hasanuddin di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/7).

Kepada awak media, ia mengaku telah menjelaskan secara gamblang kepada penyidik KPK terkait prosedur pengadaan, termasuk untuk Bakamla yang dibahas di Komisi I.  Menurut Hasanuddin, setelah semua pihak sepakat dalam rapat, Komisi Pertahanan lantas mengirimkan kesimpulan rapat tersebut kepada Badan Anggaran (Banggar) DPR.

"Sesuai dengan kesepakatan komisi satu, diajukan ke Banggar. Lalu setelah di Banggar bukan kewenangan Komisi I," terangnya.

Saat ditanyakan ihwal anggaran Bakamla pada APBN-P tahun anggaran 2016 yang diserahkan ke Banggar, Hasanuddin mengaku tak tahu. Menurutnya, bila terjadi perubahan pada anggaran tersebut semua dilakukan oleh Banggar.

"Sehingga kami tidak bisa menjelaskan apa yang dilakukan, mengapa anggaran itu bisa naik bisa turun di Banggar," kata dia.

photo
Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/7).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement