Selasa 30 Oct 2018 06:55 WIB

Riau Segera Miliki Hutan Adat Pertama

Riau mendapat jatah perhutanan sosial mencapai 1,38 juta hektare hingga 2019.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
HUTAN KEMASYARAKATAN Petani peserta program Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Kelompok Tani Hutan-‘Ingin Maju’ meindahkan sarang lebah madu yang dibudidayakan di Lahan Gunung Langkaras, Kabupaten Tanah Laut, Kalsel, Tabu (22/11).
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
HUTAN KEMASYARAKATAN Petani peserta program Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Kelompok Tani Hutan-‘Ingin Maju’ meindahkan sarang lebah madu yang dibudidayakan di Lahan Gunung Langkaras, Kabupaten Tanah Laut, Kalsel, Tabu (22/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Provinsi Riau segera memiliki hutan adat pascapenyerahan usulan hutan adat oleh empat kenegerian di Kabupaten Kampar, Riau. Usulan ini sebagai tanggapan atas kebijakan Perhutanan Sosial yang digadang-gadang pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Secara nasional, target perhutanan sosial mencapai 12,7 juta hektare, sementara Riau mendapat jatah mencapai 1,38 juta hektare hingga 2019.

Bupati Kampar, Azis Zaenal menyatakan, pihaknya sudah menerima usulan empat kenegerian tersebut pertengahan September 2018.  "Keempat kenegerian adalah Kenegerian Batu Sanggan, Gajah Bertalut, Petapahan dan Kuok," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (29/10).

Datuk Khalifah Luhak Batu Sanggan, Suparmantono Datuk Godang menyebutkan, penyerahan usulan dilakukan di kawasan hutan Imbo Putui di Desa Petapahan dengan total usulan sebanyak 12.372 hektare.

Datuk Godang menjelaskan, masyarakat sudah lama mengharapkan untuk bisa mengelola hutan. Selain untuk melestarikannya, tapi juga memanfaatkan hasil hutan yang dapat memberi ekonomi tambahan terhadap masyarakat.

Penetapan hutan adat ini tentu memberikan peluang legal pada masyarakat.  Dengan demikian, masyarakat akan lebih leluasa menetapkan aturan-aturan adat untuk mengelola kawasan hutannya. "Karena hutan adalah keseharian kami," ujar Datuk Godang.

Hutan, kata dia, seperti pasar tempat segala kebutuhan hidup dapat dipenuhi.  Bagi masyarakat adat, hutan sebagai pasar terbagi atas tiga bentuk. Pertama, untuk berkebun yang memungkinkan masyarakat mendapatkan kebutuhan pokok, terutama beras dan minyak makan yang dapat diolah sendiri.

Kedua, hutan adalah pasar air.  Selain sebagai sarana transportasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan air, sungai juga menyediakan ikan. "Kami punya kearifan lubuk larangan.  Tiap musim kemarau tiap tahunnya, lubuk larangan dipanen.  Hasil panen ikan dibagikan kepada masyarakat.  Sebagian hasil ikan dilelang dan uangnya dimanfaatkan untuk pembangunan," ucap Datuk Godang.

Ketiga adalah pasar hutan itu sendiri. Menurut Datuk Godang, hutan menyediakan kebutuhan pembangunan karena kayunya dapat dimanfaatkan.  Bagi masyarakat adat, pengambilan kayu terbatas hanya untuk keperluan pembangunan fasilitas umum dan membuat rumah tinggal.

Hutan juga dinilai sebagai penyedia protein. Datuk Godang mengatakan, masyarakat mendapatkan binatang untuk dimakan dari hutan, seperti kancil. "Hutan menyediakan buah-buahan dan hasil hutan non kayu lainnya, seperti rotan dan madu," katanya.

Direktur Perkumpulan Bahtera Alam Harry Oktavian mengatakan, pengembangan hutan adat menjadi salah satu skema perhutanan sosial di Riau.  Selain hutan adat, ada pula skema hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan kemitraan kehutanan.

Keempat hutan adat yang diusulkan di Riau, akan membuka peluang bagi wilayah adat lain untuk mengusulkan skema hutan adat. Dengan demikian, Harry mengatakan, target Provinsi Riau untuk perhutanan sosial dapat segera dikejar.

"Target ini akan menyumbang pada pencapaian luasan area perhutanan sosial di Riau.  Walaupun tidak terlalu signifikan, tapi pengukuhan Bupati menjadi penting karena akan memunculkan preseden baik," ucap Harry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement