REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Gelak tawa 35 pelajar dari 13 provinsi se-nusantara terdengar membahana di tepian Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta. Mereka bercengkrama tanpa batas, meskipun ada sejumlah perbedaan yang mengungkung para pelajar ini. Tetapi, perbedaan itu justru menjadi alasan bagi mereka dalam membangun persahabatan selama lima hari terkakhir.
35 pelajar ini merupakan peserta program ekspedisi Bhineka bagi bangsa 2018. Mereka mengikuti kegiatan pendidikan berkarakter berbasis alam, di dua lokasi selama lima hari pada 24 hingga 28 Oktober 2018. Yakni di Outward Bound Indonesia (OBI) Eco Campus, Desa Jatimekar, Kecamatan Jatiluhur dan Gunung Parang, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Purwakarta.
35 pelajar ini datang dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Seperti, Aceh, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jogjakarta, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan dan Papua. Di tepian Waduk Jatiluhur dan di ketinggian Gunung Parang, persahabatan mereka terpatri.
Nur Fia Fitrah Armin Jaya (17 tahun) pelajar asal SMAN 1 Takalar, Sulawesi Selatan, mengatakan, baru kali ini berkunjung ke Waduk Jatiluhur serta Gunung Parang. Kunjungannya ini tentu sangat bermakna dan penuh kesan. Apalagi, dia datang menjadi peserta ekspedisi Bhineka.
"Kami, dari Sulawesi Selatan datang tiga orang. Tentu sangat senang, bisa mengenal alam Waduk Jatiluhur dan Gunung Parang," ujar pelajar yang mengenakan burqa ini, kepada Republika.co.id, Ahad (28/10).
Apalagi, lanjut Nur, selama lima hari para peserta ekspedisi Bhineka diajarkan mengenai pendidikan berkarakter. Para peserta harus bisa mandiri, //survive// ditengah hutan, danau dan gunung, serta saling menghormati atas perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan.
Dalam ekspedisi ini, seluruh pelajar melebur jadi satu. Bahu membahu tolong menolong satu sama lainnya, merupakan pendidikan yang sangat ditekankan dalam ekspedisi ini.
Awalnya, lanjut Nur, ada perasaan putus asa, sedih, capek, apalagi saat perjuangan menaiki puncak Gunung Parang. Semua dilakukan dengan kerja sama tim. Jika yang satu tertinggal, maka peserta dalam satu kelompok harus menunggunya.
Termasuk ketika peserta muslim menunaikan shalat lima waktu, maka peserta yang nonmuslim harus menunggu sampai selesai.
"Tapi, rasa capek, sedih, kesal, panas, hilang semua. Karena apa, sebab kita bersahabat. Kita yang tadinya tak mengenal satu sama lain, jadi sangat dekat dan saling menyayangi serta menghargai perbedaan," ujar gadis dengan bola mata hitam ini.
Bagi Nur, dan 34 peserta lainnya, mengikuti ekspedisi Bhineka selama lima hari merupakan pengalaman yang sangat berharga. Bahkan, Nur berjanji setibanya di Takalar, dia akan menceritakan kisahnya ini kepada orang tua, saudara termasuk teman-teman di kelasnya.
"Bahwa dengan perbedaan ini akan semakin indah. Tatkala, kita bisa menanggalkan ego dan kesombongan kita. Sesulit apapun kehidupan ini, bisa kita lalui jika saling percaya, tolong menolong dan menebarkan kasih," ujarnya.
Executive Director Outward Bound Indonesia (OBI), Wendy Kusumowidagdo, mengatakan, ekspedisi bhineka bagi bangsa ini merupakan program beasiswa bagi pelajar di Indonesia. Tujuannya, yaitu pengembangan karakter. Sehingga, terbentuk semangat kebangsaan dan kebhinekaan dengan menggunakan metode pembelajaraan ekspedisi alam.
"35 peserta pelajar SMP dan SMA dari 13 provinsi ini, dipersatukan dalam serangkaian perjalanan menyusuri danau dan gunung," ujar Wendy.
Sasaran ekspedisi bhineka bagi bangsa ini yaitu membangun kepercayaan diri, kemandirian, semangat toleransi, solidaritas dan kerja sama antar tim. Selain itu, ketika mereka kembali ke daerah asalnya, para pelajar ini diharapkan menjadi duta perdamaian.