Ahad 28 Oct 2018 09:47 WIB

Mereka yang Menunggu Perubahan

Tanpa empati, setiap orang jadi merasa bebas mengekspresikan kebenciannya.

Abdullah Sammy.
Abdullah Sammy.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy*

Me and all my friends we're all misunderstood.

They say we stand for nothing and there's no way we ever could.

Now we see everything that’s going wrong with the world and those who lead it.

We just feel like we don’t have the means to rise above and beat it....

Begitu penggalan lagu Waiting on the World to Change yang tiba-tiba menggema di kendaraan saya. Sebuah stasiun radio memutar lagu itu di tengah kondisi lalu lintas Jakarta yang padat merayap.

Lagu John Mayer ini sudah agak lama tak mampir ke telinga. Walau sudah jarang mendengar, tapi liriknya tetap mampu menyentak hati. Liriknya sesuai dengan apa yang sedang saya, atau mungkin sebagian orang rasakan saat ini.

Situasi dunia memang sedang kurang baik. Kebencian, kekerasan, dan perseteruan antar-manusia seperti mendapat panggung utama.

Sayangnya, situasi yang kurang baik ini mampir ke Indonesia. Ini utamanya melihat segala keriuhan yang terjadi di sekitar kita. Mulai dari copras-capres hingga isu soal agama yang terus mengemuka.

Gila, benar-benar gila! Hampir lima tahun, kita tak hentinya melihat aksi saling hujat, saling umpat. Sejak pilpres 2014, polarisasi besar tercipta yang menghadapkan masyarakat pada dua pilihan. 

Saya pribadi juga bukan berada di ruang hampa. Di dalam hati ada preferensi jika berbicara urusan politik. Tapi, perdebatan tentang preferensi jadi tidak terlalu bermakna saat ini. Kini yang jauh lebih penting adalah menjaga kewarasan di tengah derasnya arus polarisasi.

Beda pilihan politik bukan berarti kita harus saling melukai. Tapi sayangnya, pandangan politik sudah dipandang serba hitam-putih. Yang jadi jagonya selalu dilihat tanpa cela, sedangkan si musuh dilihat laksana bajingan bin syaiton. Si jago pun akhirnya dibela setengah mati, sedangkan musuh harus diberangus sampai mampus.

Kita disuruh memilih menjadi hitam atau putih. Padahal dalam hidup, hitam-putih hanya milik Juventus. Sedangkan ketidaksempurnaan adalah milik manusia biasa.

Tak ada manusia yang sempurna kebaikannya tanpa cela. Pun halnya tak ada yang orang yang begitu sempurna jahatnya tanpa tersisa sedikit pun kebaikannya.

Sudah 'sewarasnya' kita semua bisa memandang segala perbedaan pandangan ini bukan sebagai pilihan antara kebaikan dan kejahatan. Ini bukan fiksi tentang super hero versus super villain.

Tapi sayangnya, banyak yang justru termakan pada narasi-narasi propaganda. Walhasil, yang tergambar di kebanyakan kepala mereka adalah sang jago merupakan pahlawan yang sedang menghancurkan kebatilan.

Narasi-narasi penuh kebencian ini hanya akan berujung ke sisi desktruktif. Walhasil dunia, khususnya Indonesia, dalam ancaman besar karena kuatnya polarisasi arus kebencian.

Bohong besar jika mengatakan kebencian ini hanya dilakukan salah satu kubu politik tertentu. Sebab faktanya kedua kubu dan pendukung melakukannya!

Lantas apa yang mesti dilakukan untuk menyelamatkan Indonesia dari polarisasi kebencian ini? Jawabannya hanya satu kata, "empati". Sebab arus kebencian akan mudah merasuk ke jiwa yang minus empati.

Krisis empati yang menjadi pangkal masalah yang akhir-akhir ini melanda dunia maupun Indonesia. Tanpa empati, seseorang jadi hidup dengan kacamata kuda. Melihat lurus pada preferensinya sendiri tanpa peduli perasaan orang di sekelilingnya. Tanpa empati, setiap orang merasa berhak mengunggah apa pun kata-kata di sosial media.

Problem empati ini dirasakan Indonesia sejak era reformasi 1998. Pascakeran kebebasan terbuka, semua merasa punya hak untuk berbicara, tanpa sadar adanya kewajiban untuk menjaga perasaan orang lain yang berbeda.

Padahal, khazanah budaya bangsa ini menganut nilai empati yang tinggi. Dalam budaya nasional, kita tentu mengenal konsep tentang tepo seliro atau tenggang rasa. Sebuah budaya yang dahulu menjadi makanan siswa dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) atau kemudian PPKN.

Lantas, mengapa budaya dan pelajaran tentang budaya tepo seliro dan tenggang rasa ini seperti memudar saat ini? Semua jadi bebicara tentang kebebasan dan demokrasi, tapi tidak dibarengi dengan apa yang disebut tepo seliro atau tenggang rasa?

Demokrasi dan kebebasan kita menjadi begitu kebarat-baratan. Padahal di saat yang sama, barat justru sedang menyerap budaya tepo seliro dan tenggang rasa. Ini seperti Kanada yang baru pada 1996 menginisiasi program pendidikan dini tentang empati dan tenggang rasa yang bernama, Roots of Empathy. Pendidikan ini mirip dengan materi tenggang rasa di pelajaran PMP, walau isinya lebih banyak praktik ketimbang teori.

Dari Kanada, pendidikan tentang empati ini diadopsi 11 negara lain, yakni Inggris, Skotlandia, Wales, Ireland Utara, Prancis, Spanyol, Republik Irelandia, Jerman, Swiss, dan Kosta Rika.

Belanda, negara yang pernah menjajah kita, baru mengadopsi pendidikan tentang tenggang rasa ini pada 2018 ini. Negara-negara yang umumnya mengusung konsep demokrasi liberal itu sadar bahwa ada kewajiban yang selama ini mereka alpa, yakni empati dalam berdemokrasi. Demokrasi yang begitu bebas itu kemudian yang memproduksi munculnya kekuatan politik dan kelompok radikal di sejumlah negara Barat.

Pada 1801 seorang Thomas Jefferson sudah lebih jauh menyadari pentingnya empati di atas kebebasan dan demokrasi. Jefferson berpandangan rasa empati yang memuat kasih sayang harus selalu berada di atas kebebasan.

“Mari kita memulihkan hubungan sosial yang harmonis dan kasih sayang, tanpanya kebebasan dan bahkan kehidupan itu sendiri hanyalah hal-hal yang suram,” ujar Jefferson dalam pidato inaugurasinya.

Seperti dikatakan Jefferson, tanpa empati kebebasan berdemokrasi, berekspresi, atau berbicara malah bisa berujung perpecahan. Tanpa empati, demokrasi akan diekspresikan orang per orang dengan penuh sentimen. Yang satu pandangan politik akan dianggap baik dan selalu benar. Sedangkan yang pandangan politiknya berbeda akan dianggap jahat dan selalu salah.

Tanpa empati, setiap orang jadi merasa bebas mengekspresikan kebenciannya. Tanpa empati, orang-orang akan menjadikan hak berbicaranya untuk 'meng-kampret' atau 'men-cebongkan' orang lain.

Semua fenomena ini harus dihentikan. Saatnya kita menempatkan empati di atas preferensi politik kelompok atau pribadi.

Cara berempati yang paling sederhana untuk dipraktikkan adalah bagaimana cara kita berkomunikasi. Sebelum kita men-share atau mengetik sesuatu di grup atau media sosial, ada baiknya kita berpikir apakah unggahan tersebut akan menyakiti hati teman kita yang berbeda pandangan?

Lantas apa fungsinya unggahan Anda jika akhirnya hanya memuaskan diri sendiri dengan kata-kata, tapi melukai hati yang lain. Apakah Anda akan merasa puas dan senang jika melihat orang lain sakit hati? Apakah karena anda pernah sakit hati, maka berarti berhak untuk membuat orang lain juga sakit hati pula?

Jika Anda tidak peduli dengan deretan kata tanya itu maka tanpa disadari bahwa Andalah yang berkontribusi membawa bangsa ini menuju tubir kebencian yang begitu dalam. Walhasil, semua punya kewajiban untuk berempati.

Pemimpin politik haruslah mengedepankan komentar yang empatik di depan publik. Pemimpin politik haruslah menebar kata-kata yang sejuk, bukan justru menyebarkan diksi-diksi provokatif dan penuh kebencian. Pun halnya Anda yang berstatus ulama, cedikiawan, tokoh publik, maupun pembesar negeri.

Jangan hanya memikirkan kebebasan berkomentar di depan publik, tanpa kewajiban untuk menjaga perasaan orang yang berbeda pandangan. Sebab tanpa itu, para tokoh itulah yang akhirnya membuat bangsa ini semakin dalam terjebak pada narasi kebencian.

Sudahilah bahasa-bahasa yang tidak simpatik. Toh, kritik dan pujian tentu tetap bisa disuarakan dengan bahasa wajar dan tak provokatif atau menyakiti hati. Sebab seperti itulah sejatinya budaya bangsa kita sesungguhnya. Budaya empati, tepo seliro, dan tenggang rasa yang kini menjadi bahan pelajaran dunia, tapi justru mulai dilupakan di Indonesia.

Mungkin, banyak dari masyarakat yang saat ini diam melihat fenomena dualisme politik yang penuh kebencian ini. Mereka yang diam bukan berarti berada di ruang hampa. Mungkin mereka ini sama dengan apa yang disampaikan John Mayer dalam penggalan lagu waiting on the world to change:

"It's not that we don't care. We just know that the fight ain't fair

So we keep on waiting, waiting on the world to change.........."

 
*) Penulis adalah Redaktur Republika/Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement