REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai, wajah baru sulit muncul di parlemen. Artinya, wajah-wajah calon anggota legistlatif (caleg) baru, termasuk yang diusung partai politik baru, memiliki harapan kecil untuk masuk parlemen.
"Saya menduga, tidak akan ada wajah baru yang dominan didalam Pemilihan Anggota Legistlatif (Pileg) 2019. Bahkan, 80 persen anggota DPR yang sekarang punya potensi akan terpilih kembali," kata dia.
Ray menjelaskan alasan wajah baru sulit muncul pada DPR RI periode mendatang lantaran penentuan nomor urut parpol dan konsentrasi pemilih. Pada Pemilu 2019, caleg yang diuntungkan hanya yang berada di urutan atas.
Saat ini, caleg-caleg yang berada di urutan atas merupakan mereka yang sudah beberapa kali lolos ke DPR. Caleg baru juga kesulitan untuk fokus memperkenalkan diri ke masyarakat karena harus juga mengampanyekan calon presiden dan wakil presiden yang diusung partainya.
“Caleg-caleg juga enggak penting dia harus populer atau tidak. Yang penting dia dapat nomor satu atau dua, agar punya potensi menang," kata dia kepada wartawan, di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/10).
Ia menambahkan, sistem dalam pertai perlu dibenahi agar wajah baru dalam partai politik besar bisa muncul. “Para pengurus DPP yang menentukan para caleg yang duduk di urutan teratas,” kata dia.
Ia mengatakan kondisi tersebut bahkan berlaku pada partai politik besar. Padahal, ia menyebutkan, lasan kedua wajah lama sulit diganti, yakni konsentrasi pemilih pada Pemilu mendatang hanya untuk beberapa partai.
Menurut dia, pemilih akan terkonsentrasi kepada partai politik yang telah teruji. Selain itu, fakfor pemilihan presiden sacara lagsung hanya memiliki efek ekor jas (coat-tail effect) pada partai yang mengusungnya.
Dengan perpaduan itu, ia memprediksi, hanya akan ada enam partai yang lolos parlemen pada 2019. Ray menambahkan, dengan naiknya ambang batas parlemen, hanya partai politik elite yang bisa menentukan kebijakan publik. "Ya mungkin enam partai, dan pemilu berikutnya hanya empat partai yang akan lolos,” kata dia.
Ray mengatakan kondisi ini sebenarnya yang membuat sistem politik Indonesia tidak membutuhkan ambang batas parlemen (parliamantery threshold). Sebab, pemilih hanya akan terpusat pada satu dua partai politik.
"Akan secara alami memang pemilih akan memilih dua atau tiga partai. Seiring berjalannya waktu dan demokrasi makin berjalan," kata dia.