Ahad 28 Oct 2018 05:57 WIB

Refleksi Haedar Nashir: Mencintai Indonesia

Jika benar-benar “Aku Indonesia”, jangan biarkan rupiah terpuruk, ekonomi krisis.

KH Haedar Nashir (Ilustrasi)
Foto:

Ultra-nasionalisme

Ketika cinta Indonesia digelorakan sedemikian rupa hingga mematikan nalar sehat dan kewajaran, sesungguhnya aura cinta seperti itu sering kehilangan zauhar atau esensi cinta yang penuh makna. Cinta verbal seperti itu rapuh, bahkan ketika bersenyawa dengan kepentingan-kepentingan lain yang eksklusif dan menyelinap dalam nafsu egoisme diri atau kelompok secara berlebihan, boleh jadi malah dapat menumbuhkan aura cinta gelap mata.

Cinta yang mengandung cemburu buta sekaligus kehilangan rasionalitas, akan memandang orang lain sebagai ancaman dan musuh negara hanya karena berbeda ekspresi cintanya kepada Indonesia. Indonesia seakan miliknya sendiri, orang lain dianggap penumpang gelap.

Cinta berlebihan disertai ekslusivitas yang menutup diri akan rasa ketanah-airan jika salah kelola dapat memupuk benih nasionalisme yang ekstrem sebagaimana tumbuhnya ideologi ultra-nasionalisme di Italia, Jerman, dan Jepang pada era Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Nasionalisme yang ultra atau ekstrem menumbuhkan gelora “chauvinisme”, suatu virus yang mematri keyakinan berlebihan (true believing) bahwa bangsa dan negeri sendiri adalah yang paling segalanya dibanding negara dan bangsa lain di muka bumi ini.

Negeri dan bangsa sendiri satu-satunya di muka bumi yang paling unggul, seraya merendahkan bangsa dan negara lain dengan nafsu serbadigdaya. Meskipun negerinya ringkih dan dirundung banyak masalah.

Ideologi ultra-nasionalisme di tiga negara tersebut pada masa itu melahirkan rezim fasis yang totalitarian. Negara atau pemerintah sebagai pusat hegemoni yang absolut, sedang warga negara kehilangan kebebesannya. Pemerintahan fasis yang ultra-nasionalis atau ultra-nasionalis yang fasis itu serbasensitif terhadap kebebasan warganegaranya.

Sedikit saja warganya berbeda pandangan akan dianggap antipemerintah dan dianggap mengancam negara. Pendukung rezim pemerintah pun ikut-ikutan fasis dan ultra-nasionalis sehingga selalu ingin mengawasi, meneror, mengendalikan, dan merepresi siapa pun yang tidak sejalan dengan pemerintah dan paham nasionalismenya yang bergaris keras.

Oleh karena itu, paham ultra-nasionalis di mana pun selalu bermasalah. Sikapnya cenderung represif terhadap pihak lain. Cinta bangsa dan bela Tanah Air diterjemahkan secara monolitik berdasarkan pahamnya sendiri yang sempit, naif, dan meneror. Kelompok nasionalis yang ultra tersebut tidak toleran terhadap perbedaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement