Sabtu 27 Oct 2018 21:26 WIB

Kata Pengamat Asing Soal Ekonomi Hingga Demokrasi Indonesia

Indonesia dianggap bisa jadi contoh di kawasan ASEAN.

Dua orang melintasi layar elektronik pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (19/10/2018).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Dua orang melintasi layar elektronik pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (19/10/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, BALI— Beberapa pengamat asing berbicara mengenai Indonesia saat ini dalam "Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2018" yang digelar di Gianyar, Bali, Sabtu (27/10).

Pengamat asing itu di antaranya Sidney Jones, pakar dan peneliti terorisme di Asia Tenggara, dosen Australian National University (ANU) Ross Tapsel, dan Vasuki Shastry pengamat ekonomi Indonesia dan Singapura yang juga wartawan ekonomi India.

"Demokrasi di Indonesia telah tumbuh dan berkembang baik setelah reformasi politik dimana ada kebebasan dalam mendirikan partai politik dan kebebasan pers," kata Sidney Jones, dalam sesi diskusi yang digelar UWRF 2018 dengan judul "Indonesia, Outside In".

Sidney mengatakan, dalam perkembangannya, sistem demokrasi Indonesia juga telah melangkah ke pemilihan langsung presiden, gubernur, bupati hingga wali kota.

Dia mengatakan, partisipasi masyarakat dalam pemilu dan pilkada relatif tinggi, walaupun di banyak daerah, pemilih kurang kenal dengan calon wakil rakyatnya. 

“Tapi kenal calon presidennya, namun mereka merasa punya kewajiban untuk ikut mencoblos," katanya.

Dia memuji Indonesia dalam hal ini menjadi contoh sistem yang baik di kawasan ASEAN dan juga negara yang mayoritas Muslim. Islam dan non- Muslim bisa berjalan berdampingan. 

“Indonesia lebih baik dari Singapura dan Malaysia, bahkan lebih baik dari Mesir dan Turki dalam penerapan demokrasi," kata Sidney lagi.

Namun, dia menggarisbawahi demokrasi dan kebebasan pers membuka peluang munculnya kelompok garis keras dan radikal. Banyak teroris internasional merekrut warga Indonesia untuk menjadi teroris.

Banyak aksi teror di Indonesia dan kelompok garis keras terus berkembang dan menguat, hal itu terlihat dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Kendati demikian, dia meyakini Indonesia tidak akan seperti Suriah, Afganistan, dan Pakistan, dengan syarat masyarakat melalui sistem demokrasi saat ini mampu mencegah kelompok garis keras dan radikal menang dalam pemilu mendatang. 

Sementara itu, dosen ANU Ross Tapsel mengatakan, reformasi politik dan kebebasan pers telah menyebabkan pemilik media massa di Indonesia cenderung oligarki dan memegang kekuasaan dan pengaruh yang lebih besar.

Ia menilai bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadinya konglomerasi di industri media akibat adanya digitalisasi produk media .

"Para pemilik media menjadi lebih kaya dan memiliki kekuatan politik lebih besar dari sebelumnya," ujarnya.

"Media massa telah membantu terciptanya identitas nasional. Televisi menjadi simbol sistem ototitarian, dan internet membantu terciptanya demokrasi," tambah Tapsel.

Sedangkan wartawan ekonomi India Vasuki Shastry, sekaligus pengamat ekonomi Indonesia, memuji Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan sekitar 17.000 pulau mampu melewati masa kegelapan pada saat krisis ekonomi-politik 1998.

Dia berpendapat, namun dalam waktu 10 tahun, ekonomi Indonesia mampu bangkit. Pada 2008, ketika krisis ekonomi dunia dan negara Amerika, Eropa, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. 

“Indonesia justru mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas lima persen," katanya.

Hal ini, kata dia, menjadi faktor Indonesia terpilih sebagai salah satu anggota G20 bersama dengan negara-negara maju di dunia. Presiden Jokowi juga mampu melanjutkan pembangunan ekonomi dan banyak membangun infrastruktur ekonomi yang selama ini menjadi kelemahan ekonomi Indonesia.

 

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement