Sabtu 27 Oct 2018 19:16 WIB

Prioritas Penanganan Stunting Tahun Ini Capai 100 Daerah

Stunting merupakan masalah gizi kronik, bukan yang terjadi dua atau tiga bulan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Friska Yolanda
Anggota Ikatan Konselor Laktasi Klaten mengukur postur tinggi bocah dan memberikan sosialiasi pemberian gizi bayi untuk mencegah kegagalan tumbuh kembang anak (stunting) saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Klaten, Jawa Tengah, Minggu (22/4).
Foto: Antara/Maulana Surya
Anggota Ikatan Konselor Laktasi Klaten mengukur postur tinggi bocah dan memberikan sosialiasi pemberian gizi bayi untuk mencegah kegagalan tumbuh kembang anak (stunting) saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Klaten, Jawa Tengah, Minggu (22/4).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat sulit dientaskan di Indonesia. Tahun ini saja, tidak kurang 100 kabupaten/kota di Indonesia yang mendapat prioritas penanganan stunting.

"Tahun ini 100 kabupaten/kota jadi prioritas penanganan stunting, tahun depan ditambah 60 kabupaten/kota lagi," kata Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kirana Pritasari, di UC UGM Hotel beberapa waktu lalu.

Ia mengingatkan, stunting merupakan masalah gizi kronik, bukan yang terjadi dua atau tiga bulan. Terjadinya, kemungkinan besar sejak dalam kandungan, sejak janin dan kumulatif hingga anak-anak tumbuh.

Kirana mengungkapkan, dua tahun terakhir memang menjadi komitmen pimpinan baik presiden, gubernur, wali kota mapun bupati agar didorong memperhatikan masalah tersebut. Sebab, masalahnya tidak cuma soal tinggi badan. Tapi, lanjut Kirana, berdampak kepada kognitif yang secara jangka panjang bisa mengganggu kualitas manusia. Anak terkena stunting akan mengalami gangguan perkembangan dan bisa mengalami masalah gizi jangka panjang.

"Kalau sudah terlanjur menjadi stunting, kalau asupan gizinya terus ditambah akhirnya bukan tumbuh ke atas tapi tumbuh ke samping," ujar Kirana.

Kondisi itu akan menjadi masalah karena menimbulkan penyakit-penyakit yang penderitanya kini cukup besar. Data 2013 saja penderitanya mencapai 37,2 persen, atau hampir empat dari 10 balita stunting.

Jika dibandingkan negara-negara berkembang lain, Indonesia terbilang cukup jauh ketinggalan dalam penanganan stunting. Menurut Kirana, Indonesia malah masuk lima negara dengan jumlah anak stunting yang besar.

"Dan menjelaskan stunting tidak mudah karena itu masalah kronis, jadi tidak bisa di atasi dalam itungan bulan atau bahkan tahun," kata Kirana.

Untuk itu, ia menekankan, yang terus dilakukan masyarakat tidak lain memberi pemahaman mendalam baik kepada masyarakat maupun pimpinan-pimpinan daerah. Utamanya, pemahaman kalau ini bukan semata masalah kesehatan.

Artinya, ada multisektor yang harus bisa memberikan intervensi kepada masalah tersebut. Sebab, ada keterkaitan lingkungan, air bersih dan aspek-aspek lain yang akan menjadi lingkaran setan jika tidak di atasi.

Karenanya, Kirana berharap, ada komitmen yang dikeluarkan pimpinan-pimpinan daerah untuk mendorong konvergensi antarsektor. Ada sektor kesehatan, PU, pendidikan, keluarga, pertanian, bahkan desa.

Terkait desa, memang menjadi erat lantaran ada sumber dana cukup besar yang bisa dimanfaatkan dalam penanganan stunting. Kirana menekankan, komitmen itu setidaknya harus dibuktikan daerah-daerah melalui penganggaran.

"Intervensi yang selama ini ada sudah dilakukan, tapi kurang masif, kurang menjangkau aspek-aspek penting yang salah satunya merupakan penganggaran," ujar Kirana. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement