Sabtu 27 Oct 2018 06:07 WIB

Negeri Para Preman

Setidaknya tiga jenis kelompok yang memegang ideologi premanisme.

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia

Jika ada kebalikan dari negara hukum, mungkin salah satu istilah yang cocok adalah Negeri Para Preman.

Secara etimologi atau dari asal usul kata, ada yang mengatakan preman berasal dari kata free man, orang yang bebas. Seenaknya melakukan apa saja, termasuk melabrak hukum yang berlaku atau melawan kebijakan yang diputuskan. Bahasa kasarnya, "kalo gue mau begini, elo mau apa?"

Sayangnya, sekarang di negeri ini cikal bakal premanisme seolah dibiarkan betebaran. Ideologi mereka premanisme. Paham premanisme, intinya menganggap diri paling benar sendiri dan kepentingan kelompoknya adalah yang utama. Falsafah premanisme percaya untuk mewujudkan kepentingan kelompok, mereka boleh melanggar dan melawan hukum asalkan punya kekuatan dan massa.

Setidaknya tiga jenis kelompok yang memegang ideologi premanisme.

Pertama, murni preman kriminal. Mereka memang berkumpul untuk memeras, memalak, menagih, bahkan tak segan mencuri paksa secara terbuka. Untuk yang jenis ini, pelanggaran hukumnya menjadi rahasia umum, sekalipun demikian masih bisa berkeliaran bebas. Pos-posnya tersebar tanpa diganggu gugat oleh aparat penegak hukum.

Kedua, preman yang berkedok ormas atau kelompok pemuda. Sebagian dari kelompok ini punya organisasi resmi, punya jenjang kepemimpinan ala militer.

Padahal, ketika reformasi digulirkan, salah satu agenda besar yang diusung adalah mengurangi peran militer dalam kehidupan sipil. Tapi kenyataannya, kini banyak sipil yang berlagak seperti tentara. Berseragam loreng, memberi pangkat, memakai baret, atau aksesori gaya militer lainnya.

Tentu saja tidak ada larangan, boleh-boleh saja berpakaian ala militer. Akan tetapi, ketika mereka petantang petenteng berlagak bak penguasa barulah menjadi sumber keresahan.

Beberapa kelompok mengatasnamakan kedaerahan, kebangsaan, dan sebagian lainnya mengatasnamakan keagamaan.

Masalah muncul ketika mereka merasa paling berhak menerjemahkan cinta bangsa dan cinta agama, serta menganggap pemahaman mereka paling benar. Dengan dukungan jumlah anggota yang banyak, secara arogan berani menghentikan dengan gagah berani kegiatan agama yang mereka anggap berbeda.

Ada yang menghalau ustaz yang akan berceramah, ada yang menghentikan pemutaran film di bioskop, bahkan berani membakar bendera bertuliskan kalimat tauhid hingga dikecam dunia Islam internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement