Rabu 24 Oct 2018 20:08 WIB

Coretan Indah dari Kaki Sang Seniman Malang

Karya pria yang pernah kuliah UMM ini sudah mampu mencapai tanah Eropa.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Agus Yulianto
Seniman Kota Malang, Sadikin Pard melukis menggunakan kaki di Jalan Selat Sunda Raya D1/40B Kota Malang, Rabu (24/10).
Foto: Foto: Wilda Fizriyani
Seniman Kota Malang, Sadikin Pard melukis menggunakan kaki di Jalan Selat Sunda Raya D1/40B Kota Malang, Rabu (24/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Tidak ada yang pernah mau lahir dalam kondisi fisik yang tak sempurna. Namun, takdir memang tidak selalu sesuai keinginan manusia sendiri, termasuk yang dialami Sadikin Pard (52). 

Terlahir tanpa tangan, tak membuat pria kelahiran Malang ini patah semangat. Bakat melukis yang telah hadir sejak duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) terus dikembangkan. Cercaan yang didapatkan dari orang-orang meremehkannya dianggap sebagai motivasi.

"Jadikan cacian, hinaan dan cercaan sebagai pil pahit untuk memotivasi kita lebih baik lagi ke depannya," ujar pria kelahiran 29 Oktober 1966 kepada Republika,co.id, di Jalan Selat Sunda Raya D1/40B, Sawojajar, Kota Malang, Rabu (24/10). 

Tak ada rasa lain selain kesukaan yang tiada terkira saat dirinya mulai menggeluti lukisan. Sudah tidak terhitung juga lukisan yang telah dihasilkannya sejak duduk di bangku TK. Bahkan, karya-karya pria yang pernah kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini sudah mampu mencapai tanah Eropa.

Seperti yang diungkapkan Sadikin sebelumnya, melukis awalnya hanya sekedar hobi dan kesenangan semata. Cita-cita Sadikin sejak dulu sebenarnya menjadi seorang arsitek andal di masa depan. Namun penjurusan IPS di bangku SMA, membuatnya sulit untuk menembus program studi (prodi) arsitek saat kuliah."Jadinya saya masuk jurusan psikologi saat kuliah," tambah dia.

Sekitar 1989 pada semester tiga, Sadikin mulai tertarik untuk fokus menggeluti bakatnya itu. Dia mulai mendaftar sebagai pelukis di organisasi yang berpusat di Swiss, Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMFPA). Dari wadah komersial ini, Sadikin pun dituntut untuk menghasilkan 15 lukisan setiap tahunnya.

Pengiriman lukisan ke AMFPA di 1989 membuatnya memeroleh bayaran sekitar 300 Swiss Franc. Di 1989, uang tersebut setara dengan Rp 300 ribu. Jumlah ini jelas cukup besar dimiliki seorang anak muda di zamannya.

Tak ada patokan khusus yang diberikan organisasi mengenai tema gambar yang akan dilukis. Hal terpenting memiliki kualitas dan bernilai jual tinggi. Bernilai jual tinggi ini yang belum diketahui Sadikin sejak dahulu karena hanya tim juri yang mengetahuinya.

Menurut Sadikin, lukisan akan dikomersilkan dan disebar ke penjuru Eropa setelah lolos penjurian secara independen. Karya-karya tersebut biasanya dijadikan sebagai hiasan kartu ucapan, dompet, seprai dan sebagainya.

Dari sejumlah lukisan yang dikirim, karya Sadikin pernah terpilih sebagai best seller di 2005. Ia teringat betul bagaimana lukisan anak kecil berjilbab dengan helaian rambut yang keluar dari hijabnya ini menjadi menarik di mata penikmat seni. Inspirasi tanpa sengaja ini mendatangkan keuntungan besar, meski mendapatkan banyak kritikan.

"Itu banyak dikritik karena kalau berhijab kan tidak boleh kelihatan rambutnya. Dulu kenapa melukisnya karena saya pikir itu lucu dan polos jadi terlihat jujur. Nah karena banyak kritikan, jadinya best seller," tututr pria yang memiliki dua anak ini.

Penyebaran karya lukisan realisme dan impresionisme Sadikin juga terjadi di Indonesia. Beberapa pameran yang dilaksanakan bersama para pelukis lainnya membuatnya semakin dikenal. Bahkan, terdapat satu penggemarnya di Surabaya yang mengontraknya untuk membuat lukisan di kediaman pribadinya dengan anggaran Rp 300 juta.

Karena memiliki nilai estetika tinggi, Sadikin seringkali mendapatkan tawaran harga tinggi dari karya-karyanya. Salah satunya lukisan Romantika Garden yang berhasil dibeli seharga mobil ratusan juta di Surabaya. Pembeli kebetulan sangat mencintai karya seni dan memiliki keuangan yang memadai.

Meski pernah ditawari harga tinggi, Sadikin mengaku sempat beberapa kali memberikan lukisannya secara gratis. Kondisi ini terjadi biasanya terdapat satu penggemar seni yang begitu ingin memiliki karya lukisannya. Namun sayangnya, individu terkait tidak memiliki uang cukup untuk membelinya.

"Bagaimana tidak terenyuh dan tersentuh kalau seperti itu? Maka itu saya ucapkan 'kalau bapak senang, ya bawa saja'," kenang Sadikin.

Tak ingin hanya dirinya yang berkompeten dalam seni lukis, Sadikin dalam beberapa bulan terakhir telah membuka sanggar di Jalan Selat Sunda Raya D1/40B, Sawojajar, Kota Malang. Semenjak enam bulan lalu, ia kini telah memiliki 12 murid dari usia 5 sampai belasan tahun di bangku SMA. Di sini, mereka tidak hanya diajarkan melukis tapi juga bagaimana berperilaku baik untuk semua orang.

Menurut Sadikin, nilai seni layak diterapkan pada anak-anak sejak usia dini. Sebab kelak di kehidupan selanjutnya,  mereka perlu merasakan, menikmati dan menjiwai pengalaman kehidupan mereka. Mereka tidak lagi menjadi kaku dalam menikmati hidup yang sebenarnya begitu indah ini.

"Karena kesenian itu lebih fleksibel dalam menilai sesuatu. Akan terasa lebih indah," tegasnya.

Untuk dapat mendapatkan pengajaran ini, satu orang murid hanya perlu memberikan tunjangan sekitar Rp 200 ribu per bulan. Mereka dapat memahami dan mengembangkan bakat seni lukisnya setiap Sabtu. Sebagai wujud apresiasi, tak jarang Sadikin ikut memamerkan karya-karya anak muridnya ke publik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement