Selasa 23 Oct 2018 06:35 WIB

Sampah Elektronik Bisa Picu Kanker

Limbah elektronik jangan dicampur dengan sampah domestik

Rep: Muhammad Ikhwanuddin/ Red: Bilal Ramadhan
Warga membuang sampah elektronik dikotak penampungan sampah elektronik (e-waste) di Halte Transjakarta Kampung Melayu, Jakarta, Jumat (11/5).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Warga membuang sampah elektronik dikotak penampungan sampah elektronik (e-waste) di Halte Transjakarta Kampung Melayu, Jakarta, Jumat (11/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyatakan, sampah elektronik termasuk ke dalam sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Namun, kesadaran masyarakat akan resiko yang ditimbulkan sampah tersebut dinilai masih rendah.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Isnawa Adji mengatakan, warga belum menyadari pentingnya mengelola limbah elektronik. Padahal menurutnya, rumah tangga menjadi konsumen skala terkecil yang berandil besar jika pengelolaan sampah elektronik dilakukan secara kolektif.

Limbah yang berasal dari alat-alat elektronik, juga dapat dengan mudah ditemukan di dalam lingkup rumah tangga. Di antaranya, televisi, telepon seluler, komputer, hingga benda kecil seperti baterai.

Limbah elektronik tersebut, lanjutnya, mengandung bahan berbahaya dan beracun, seperti logam berat, PVC, PcB, dan lain-lain yang membahayakan kesehatan maupun lingkungan. "Oleh karena itu limbah elektronik tidak boleh bercampur dengan sampah domestik dan pengelolaannya harus dilakukan secara tepat," kata Isnawa, Senin (22/10).

Di sisi lain, belum adanya data yang akurat terkait penggunaan alat elektronik penduduk DKI Jakarta menjadi kendala pengelolaan sampah elektronik. "Tanpa data penggunaan alat elektronik tersebut, akan sulit mengetahui potensi limbah elektronik di Jakarta," ujar dia.

Berdasarkan data yang diterima Republika, hingga Agustus 2018 Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta telah mengumpulkan sampah elektronik sebanyak 22.121 unit. Sampah yang paling banyak terjadi pada bulan Mei sebanyak 4.634 unit dan paling sedikit di bulan Maret sejumlah 1.612 unit.

Jika melihat dampaknya, kata Isnawa, sampah elektronik ternyata mempengaruhi kondisi lingkungan. Tidak hanya itu, paparan limbah B3 disinyalir juga berefek pada kesehatan manusia.

"Untuk lingkungan, dampaknya dapat mencemari tanah dan udara. Selain itu terhadap tubuh manusia, jika terakumulasi dapat merusak DNA, jantung, hati, limpa, otak hingga meningkatkan risiko kanker dan bronkhitis," jelas dia.

Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan, pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan limbah elektornik perlu ditingkatkan lagi. Menurutnya, sampah elektronik merupakan limbah berbahaya jika beredar di media lingkungan.

"Namun, fasilitas pemilahan di pemukiman juga masih sangat minim, karena jelas harus dipisahkan oleh sampah atau limbah lainnya," kata Tubagus.

Dalam hal ini, ujarnya, pemerintah memiliki tanggung jawab dan berkewajiban untuk melakukan sosialiasi dan memfasilitasi masyarakat. Tubagus menyampaikan, Pemprov DKI Jakarta sebagai pemangku wilayah perlu melakukan pengawasan dan penegakan peraturan jika terdapat produsen atau industri yang tidak melakukan perintah undang-undang dan peraturan turunannya.

"Pemprov DKI Jakarta perlu menekan para penghasil limbah B3 atau produsen untuk bertanggung jawab," jelas dia.

Selain itu, lanjut Tubagus, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang pengelolaan limbah B3, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengurangan limbah tersebut.

Tubagus menyarankan kepada produsen untuk mengganti bahan elektronik yang tidak mengandung B3 sehingga lebih ramah lingkungan, melakukan pemilahan mandiri, dan menggunakan teknologi ramah lingkungan.

"Selain itu mereka juga berkewajiban untuk menyampaikan laporan secara tertulis kepada pemerintah mengenai pelaksanaan pengurangan limbah B3," tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement