Senin 22 Oct 2018 21:00 WIB

PKS: Santri-Ulama Jaga Kemuliaan Alquran Secara Konstitusi

Pesantren menjadi tembok kokoh pihak yang ingin merongrong NKRI.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Lima ribu santri se-DIY peringati Hari Santri Nasional di Lapangan Panahan, Yogyakarta, Senin (22/10). Tema yang diangkat pada peringatan kali ini yaitu Bersama Santri Damailah Negeri.
Foto: Republika/Silvy Dian Setiawan
Lima ribu santri se-DIY peringati Hari Santri Nasional di Lapangan Panahan, Yogyakarta, Senin (22/10). Tema yang diangkat pada peringatan kali ini yaitu Bersama Santri Damailah Negeri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Polhukam DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Almuzzammil Yusuf menuturkan, ada nuansa heroik pada hari santri yang diperingati tiap tanggal 22 Oktober. Karena pada tanggal tersebut di tahun 1945, KH Hasyim Asy'ari mengobarkan Resolusi Jihad untuk mempertahankan NKRI dari tentara sekutu yang merongrong kemerdekaan.

"Selang 19 hari kemudian, atau tepatnya pada tanggal 10 November 1945 pecahlah peperangan di Surabaya antara rakyat Indonesia yang sudah menyulut semangat jihadnya melawan tentara Inggris. Yang kemudian momen tersebut ditetapkan sebagai hari pahlawan," kata dia dalam keterangan tertulis, Senin (22/10).

Sehingga, lanjut Almuzzammil, antara hari santri dan hari pahlawan ini dihubungkan dengan peristiwa heroik yang saling berkaitan. Dan kisah perjuangan santri tidak berhenti melawan "penjajah eksternal". Ketika Partai Komunis dibiarkan tumbuh di Indonesia, para santri harus berhadapan perong-rong dari internal bangsa.

Almuzzamil mengatakan, kekejaman sudah ada sejak 1948, atau tiga tahun setelah bangsa ini bersukacita dengan kemerdekaannya. Darah para ulama dan santri menggenang di Madiun. Setelah pemberontakan itu ditumpas, terulang lagi pada 1965 dan kembali santri, ulama, dan umat Islam menjadi korban.

"Gelora jihad di dalam darah santri terpelihara karena kedekatan mereka dengan Al-Qur'an. Maka setelah pasukan Inggris, kader-kader PKI pun mendapat pelajaran tentang kuatnya ghiroh itu," katanya.

Di era Reformasi, papar Almuzzammil, saat Alquran dinistakan santri dan ulama berduyun-duyun memadati Monas dalam Aksi Bela Islam 212. Menurut analisa penghitungan sekitar 7 juta masa aksi dan sholat jumat yang dimotori oleh kalangan ulama dan santri hadir unjuk gigi meminta hukum ditegakkan kepada sang penista.

Menurut Almuzzammil, santri dan ulama berperan sebagai penjaga kemuliaan Alquran dan martabat umat Islam secara konstitusional. Bukan dengan jalan kekerasan maupun anarkis. Ke depan, santri dan ulama sejak era walisongo akan terus berada pada garda terdepan menjaga NKRI, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.

"Sejarah mungkin terulang. Dan tiap rongrongan kepada negara ini akan selalu bertemu dengan tembok kokoh yang berasal dari pesantren. Tembok yang dibangun dengan kekuatan iman," ucapnya.

Almuzzammil menuturkan, santri dan ulama tak hanya hadir ketika bangsa mendapat ancaman. Mereka adalah sumber daya yang berharga dalam membangun bangsa. Selama Pancasila menjadi dasar negara, maka manusia cendikia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia adalah kekuatan bagi bangsa untuk menjaga ideologi dan berdigdaya.

Antara santri dan nilai-nilai Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh. Saat negara mengamanatkan dalam konstitusinya:

"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang," bunyi UUD 45 Pasal 31 ayat 3. Santri dan ulama menjadi terdepan dalam mengawal hal ini.

"Selamat hari santri. Bersama santri dan ulama, Insya Allah Indonesia lebih baik dengan kekuatan iman dan cinta negeri," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement