Kamis 18 Oct 2018 00:54 WIB

Kiai Ma’ruf Bicara Islam Moderat di Singapura

Islam Wasathiyah merupakan peneguhan ulang implementasi Islam moderat di Indonesia.

Alex Noerdin Ketua Tim Kampanye Daerah Pemenangan calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Joko Widodo – KH Ma’ruf Amin,  Provinsi Sumatera Selatan ikut mendampingi KH Ma’ruf Amin yang melakukan kunjungan ke Singapura pada 16 – 17 Oktober 2018.
Foto: dok. Istimewa
Alex Noerdin Ketua Tim Kampanye Daerah Pemenangan calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Joko Widodo – KH Ma’ruf Amin, Provinsi Sumatera Selatan ikut mendampingi KH Ma’ruf Amin yang melakukan kunjungan ke Singapura pada 16 – 17 Oktober 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Ma'ruf Amin memberikan kuliah umum dalam forum Indonesian Leaders Public Lecture Series di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University (RSiS NTU) Singapura, Rabu (17/10). Pada kesempatan itu, ia berbicara mengenai Islam Wasathiyah. 

Ia menjelaskan komitmen Islam Wasathiyah di Indonesia beberapa tahun terakhir merupakan peneguhan ulang implementasi Islam moderat anutan arus utama muslim Indonesia. “Hal itu penting sebagai respons atas penguatan dan konsolidasi ekstremisme atas nama Islam, baik kiri maupun kanan, dalam beberapa tahun terakhir," kata Ma'ruf dalam materi kuliah umum yang diterima di Jakarta, Rabu. 

Cawapres nomor urut 1 itu mengatakan Indonesia merupakan negara berpopulasi Muslim terbesar, menganut demokrasi, dan memiliki anatomi demografi yang heterogen. Ia menambahkan relasi Islam dan negara di Indonesia pun memiliki dinamika unik. 

Menurutnya, Indonesia tidak menganut teokrasi, yang berpijak pada satu agama tertentu. Kendati demikian, Indonesia bukan negara sekular yang memisahkan agama dari negara.

Indonesia memiliki konsensus khas dalam mengelola relasi agama dan negara, yang prinsipnya tertuang dalam Pancasila dan Konstitusi. Ia menekankan, Islam Wasathiyah adalah model ekspresi dan pemahaman Islam yang relevan dalam bingkai kenegaraan di Indonesia.

Ia menerangkan model relasi Islam dan negara demikian itu telah menjadi perdebatan panjang sejak sebelum proklamasi kemerdekaan (1945). Kemudian, relasi Islam dan negara mengalami proses pematangan dalam berbagai fase dan pergulatan penting sejarah Indonesia merdeka.

Kiai Ma’ruf mengatakan perdebatan Islam moderat juga diwarnai beberapa pemberontakan, gerakan protes masyarakat, debat alot di lembaga konstituante yang dihentikan melalui dekrit presiden. “Hingga makin kukuh sebagai konsensus nasional, setelah amendemen UUD 1945, pada tahun-tahun awal reformasi,” kata dia. 

Ia pun menjelaskan, sejarah semangat Wasathiyah sebagai prinsip moderasi Islam bukanlah realitas baru di Indonesia. Mayoritas umat Islam Indonesia dalam sebagian besar sejarahnya menganut Islam moderat.

"Belakangan ini Islam moderat penting diteguhkan, mengingat ekstremisme atas nama Islam makin menjadi-jadi," kata Kiai Ma’ruf. 

Dia mengatakan Musyawarah Nasional MUI, Agustus 2015, juga menetapkan Islam Wasathiyah sebagai paradigma pengabdian. Hal itu dituangkan dalam ‘Taujihat Surabaya’.

“Ini menjadi ruh setiap gerakan MUI di semua tingkatan, panduan pengurus di semua level, dalam merumuskan kebijakan,” kata dia. 

Ia menceritakan setahun sebelum Munas MUI 2015 atau pada Ramadhan 2014, ISIS mendeklarasikan diri di Suriah. Kala itu, ISIS juga mengampanyekan Khilafah dengan cara perang.

Ia menambahkan khilafah lewat jalan perang itu mendelegitimasi berbagai sistem bernegara non-khilafah dengan cara dilabeli sebagai thoghut, dan boleh diperangi. Pengaruh ISIS juga menguat di Indonesia, disusul berbagai aksi teror pendukungnya. 

Sebelum ISIS, ideologi khilafah yang kontra demokrasi dan nation-state sudah bermunculan. Dia menyampaikan ada model non-kekerasan, seperti yang diusung Hizbut Tahrir, namun ada yang kadang menempuh jalan teror.

Ia menyebutkan jalan teror ini seperti digerakkan Jamaah Islamiyah (JI), organisasi transnasional yang memiliki sebaran struktur pengurus di Malaysia, Singapura, Indonesia, Filipina, dan Australia. Jalan kekerasan juga dipilih oleh pelaku utama teror pra-ISIS di kawasan ini sejak awal 2000-an. 

Pada awal kemerdekaan Indonesia, ada pula gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Pada medio akhir Orde  Baru, DI/TII bermetamorfosa menjadiNII (Negara Islam Indonesia), yang sama-sama kontra nation-state dan menghendaki religion-state

Dia mengatakan semua gerakan itu atas nama tuntutan akomodasi maksimum aspirasi politik Islam. Mereka selalu bertolak dari asumsi bahwa umat Islam dipinggirkan-dizalimi oleh rezim yang memiliki persepsi anti-Islam di negeri mayoritas Muslim. 

Kiai Ma'ruf menekankan gerakan mereka bukan hanya dipicu dinamika domestik-nasional. Akan tetapi, ia menambahkan, juga kerap distimulasi dan diprovokasi dinamika global. 

Ia menambahkan dinamika itu baik atas nama solidaritas sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) yang terzalimi, maupun atas nama proteksi akidah. “Sebagai respons atas ekstrimitas dari kutub seberang, berupa gerakan liberalisme keagamaan, yang dinilai mengancam kemurnian akidah,” kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement