REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Partai Golkar menonaktifkan Ketua DPD Partai Golkar Bekasi, Neneng Hasanah Yasin dari kepengurusan Partai Golkar pascapenetapannya sebagai sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Neneng ditetapkan tersangka sehubungan dengan dugaan keterlibatan Neneng sebagai Bupati Kabupaten Bekasi dalan kasus dugaan suap Meikarta.
"Partai Golkar memberikan sanksi yang tegas, yaitu menonaktifkan Neneng Hasanah Yasin dari kepengurusan Partai Golkar," kata Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (16/10).
Ace menegaskan sanksi atas Neneng sesuai dengan pakta integritas yang telah ditandatangani para kepala daerah dari Partai Golkar. Menurutnya, sesuai pakta integritas, jika ada kader Golkar atau kepala daerah dari Golkar terlibat kasus korupsi maka akan diberikan sanksi tegas.
Ia pun kembali mengingatkan seluruh kader Partai Golkar, terutama para Kepala Daerah dan para anggota legislatif tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum seperti korupsi. Apalagi menjelang Pemilu 2019.
"Juga tindakan yang dapat merusak citra Partai GOLKAR dan merusak kepercayaan rakyat dalam menghadapi Pemilu 2019 yang sudah di depan mata," ujar Ace.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengamankan
Bupati Bekasi 2017-2022 Neneng Hassanah Yasin (NNY), tersangka kasus suap terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan
Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Neneng Hassanah Yasin (NNY) diduga menerima hadiah atau janji dari pengusaha terkait pengurusan Perizinan Proyek Pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Ia bersama Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Jamaludin (J), Kepala Dinas Pemadam Kebakaran
Pemkab Bekasi Sahat MBJ Nahor (SMN), Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bekasi Dewi Tisnawati (DT), dan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi Neneng Rahmi (NR).
Diduga, pemberian terkait dengan izin-izin yang sedang diurus oleh pemilik proyek seluas total 774 hektare yang dibagi ke dalam tiga fase/tahap, yaitu fase pertama 84,6 hektare, fase kedua 252,6 hektare, dan fase ketiga 101,5 hektare.
"Pemberian dalam perkara ini, diduga sebagai bagian dari komitmen fee fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp 13 miliar, melalui sejumlah dinas, yaitu: Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar, dan DPM-PPT," ungkap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Senin (15/10) malam.
KPK menduga realisasi pemberiaan sampai saat ini adalah sekitar Rp 7 miliar melalui beberapa kepala dinas, yaitu pemberian pada April, Mei, dan Juni 2018. Ia menyatakan keterkaitan sejumlah dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks, yakni memiliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit hingga tempat pendidikan.
"Sehingga dibutuhkan banyak perizinan, di antaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampat, hingga lahan makam," kata Syarif.